Sastrawan Inggris George Herbert Menantang Tuhan Menggunakan Puisinya, Siapa yang Menang?

photo author
- Rabu, 7 Juni 2023 | 19:20 WIB
Foto Ilustrasi George Herbert Menantang Tuhan Menggunakan Puisinya. (Pixels.com)
Foto Ilustrasi George Herbert Menantang Tuhan Menggunakan Puisinya. (Pixels.com)

 

ASPIRASIKU – Seorang sastrawan Inggris bernama George Herbert menantang Tuhan menggunakan pusinya, menurutnya jika Tuhan punya senjata maka dia juga punya senjata sehingga dia yakin akan memenangkan pertarungan itu.

George Herbert yang banyak menulis pusi tentang metafisik, dan mencoba menerangkan bagaimana cara Tuhan bekerja dalam alam semesta sehingga dia kemudian menantang Tuhan sebagai upaya melihat kehadiran-Nya dalam realitas.

Sebagai penulis pusi George Herbert mencoba menerangkan cara seorang manusia yang dapat membantah bahkan menantang Tuhan, melalui karya sastra dengan ruang pengandaian atau imajinasi.

Kitab alam ditulis dalam bahasa matematik perlu dipahami secara matematis, ide mesin sebagai kosmos dan kemudian janji keselamatan dalam tradisi Kristiani, Francis Bacon yang mengemukakan bahwa mesin tidak cukup hanya berputar dan harus bisa berdaya guna.

Maka untuk itu tradisi Siensia (sains) yang diwariskan pada abad pertengahan, dan pada abad 19 baru jadi sains, mewariskan suatu tradisi bahwa siensia adalah melatih keutamaan intelektual, karena alam adalah bagian dari kontemplasi atas ciptaan menemukan simbol-simbol Tuhan.

Baca Juga: Berapa Jumlah Tuhan Orang Kristen? Apakah Bisa Dijelaskan Secara Matematis? Begini Penjelasan Pakar

Maka kontemplasi ini dapat melatih akal budi dan menemukan posisi manusia di antara ciptaan, menurut Francis Bacon membangun kerajaan manusia di dunia melalui kerajaan material yang akan mensejahterakan manusia.

Charles Taylor dalam bukunya, secularization saleh dalam kalangan filsuf alam adalah bagaimana menjelmakan kehendak Tuhan kepada manusia melalui kesejahteraan di dunia, kosmologi abad 20 dan 21 relativisme oleh Einstein dan lainnya jika mau membangun kosmologi.

Atau fisika maka hidup harus menjadi pertimbangan karena indah secara matematis itu hanya ada dalam dunia ide bukan di dunia real, Einstein dan Bohr selalu bertengkar soal penafsiran, di satu pihak tradisi kosmologi itu bertambah sehingga menjadi bagian dari ilmu-ilmu empiris.

Sebagaimana tumbuh mitos kosmogoni dari mana kita kita berasal, untuk apa dan kemana nantinya kita, sains Newtonion sampai permualaan abad ke-20 tidak bisa menjawabnya, kosmologi relativitas juga tidak bisa menjawab tapi terbentur pada sesuatu yang tidak bisa disangkal.

Yaitu adanya yang tidak terdefinisikan, seandainya yang tidak terdefinisikan itu mau ditafsir secara ontologis sebagaimana adanya realitas teolog dan orang beriman senang sekali karena akan mengatakan bahwa itulah tempatnya Tuhan dan ilmuan tentu tidak mau kalah.

Jastrow memberi ilustrasi, tentang ilmuan yang mendaki setahap demi setahap begitu sampai di puncak rupanya teolog sudah lebih dulu berada di puncak dan sedang duduk sambil berkata selamat datang kami ada di sini terimalah pernyatan kami.

Baca Juga: Inilah Fenomena Munculnya Kristen Muhamadiyah sebagai Bentuk Toleransi Keberagaman di Indonesia

Ilmuan masih terus mencari sehingga mereka memutuskan bahwa hal yang tidak terdefinisikan adalah batas ilmu pengetahuan (epistemologi) karena itu carilah teori untuk menjelaskannya, disinilah perdebatan Einstein dan Bohr.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Mitra Wibowo

Sumber: Youtube Salihara Arts Center

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X