Bahasa daerah juga tak kalah penting sebagai media pewarisan nilai lokal. Banyak kearifan yang terkandung dalam ungkapan tradisional seperti pepatah, pantun, atau pribahasa.
Baca Juga: Paula Verhoeven Teriak Minta Tolong ke Hotman Paris: Saya Dipermalukan Satu Indonesia!
Dalam bahasa Sunda, misalnya, dikenal pepatah “ulah ngageugeuh balong indung” yang mengajarkan etika tidak serakah dan menghormati milik orang lain.
Ketika anak-anak belajar bahasa ibu mereka, secara otomatis mereka juga menyerap nilai-nilai ini.
Pendidikan nonformal di lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi fondasi kuat dalam proses pewarisan.
Anak-anak diajarkan secara langsung oleh orang tua mereka tentang cara bertani, memancing, atau membuat kerajinan tangan.
Baca Juga: Aroma Gas Gegerkan Bekasi! PGN: Sudah Dicek, Tak Ada Masalah
Proses ini bukan sekadar teknis, melainkan juga sarat dengan pelajaran hidup tentang kesabaran, rasa syukur, dan kebersamaan.
Lembaga adat atau tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi penjaga tradisi.
Melalui musyawarah kampung, pelatihan budaya, atau forum warga, mereka memastikan bahwa nilai-nilai luhur tetap dipahami dan diamalkan.
Kegiatan ini membentuk ruang pembelajaran intergenerasi yang hidup dan kontekstual.
Baca Juga: Gagal Bayar, Yayasan MBN Digugat Mitra Dapur MBG: ‘Tidak Ada Damai!’
Di zaman modern, teknologi digital juga mulai menjadi alat pelestarian kearifan lokal.
Banyak anak muda yang mendokumentasikan praktik adat atau cerita rakyat dalam bentuk video, podcast, atau media sosial.
Dengan cara ini, pengetahuan lokal tidak hanya lestari di komunitasnya, tetapi juga bisa diakses secara global oleh generasi yang lebih luas.