Intervensi ini, meskipun berniat baik justru menyebabkan harga minyak goreng tidak dapat bergerak bebas mengikuti kekuatan pasar.
Baca Juga: Izin Tambang Baru Nikel di Raja Ampat Lebih Mengancam, Potensi Kerusakan Lingkungan Muncul
Akibatnya, mekanisme pasar yang selama ini dianggap sebagai pengatur efisien alokasi sumber daya menjadi terganggu.
Kebijakan penetapan harga tersebut berujung pada ketidakseimbangan distribusi, di mana produsen dan distributor enggan memasok minyak goreng ke pasar resmi karena harga jual yang dipatok pemerintah berada di bawah biaya produksi mereka.
Kondisi ini memicu munculnya pasar gelap dan praktik penimbunan, memperburuk kelangkaan dan ketidakadilan distribusi.
Selain itu, masyarakat kelas menengah ke bawah yang sangat bergantung pada minyak goreng murah justru menjadi korban utama dari situasi ini.
Esai ini akan membahas krisis minyak goreng tahun 2022 dari sudut pandang efisiensi pasar, kegagalan mekanisme harga, dan konsekuensi kebijakan harga yang menekan produsen.
Baca Juga: Tim Peneliti Universitas Brawijaya Temukan 2 Genus dan 7 Spesies Baru Mikroalga di Laut Indonesia
Kebijakan HET dan DMO: Antara Niat Baik dan Dampak Buruk
Efisiensi pasar tercapai ketika harga dapat menjadi sinyal yang akurat bagi produsen dan konsumen untuk mengalokasikan sumber daya secara optimal.
Dalam situasi efisien, tidak ada peluang untuk meningkatkan kesejahteraan satu pihak tanpa merugikan pihak lain.
Harga adalah instrumen komunikasi ekonomi yang menghubungkan permintaan konsumen dan penawaran produsen.
Ketika harga dibiarkan bergerak sesuai kondisi pasar, produksi dan distribusi barang akan menyesuaikan dengan kebutuhan serta kemampuan daya beli masyarakat.
Namun, krisis minyak goreng pada tahun 2022 menunjukkan kegagalan mekanisme harga akibat intervensi yang berlebihan, selain faktor kenaikan harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di pasar global, tata kelola perusahaan yang kurang transparan dan sistem distribusi yang lemah juga turut memperburuk kelangkaan.