Pemerintah memberlakukan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban perusahaan untuk memasok produksi bagi pasar domestik, dengan tujuan menjaga harga tetap terjangkau bagi masyarakat.
Akan tetapi, kebijakan tersebut membuat harga jual minyak goreng lebih rendah dari biaya produksi bagi perusahaan, sehingga produsen dan distributor enggan memasok produk ke pasar resmi.
Pemerintah juga memberlakukan kebijakan subsidi untuk menanggapi kenaikan harga minyak goreng, kebijakan ini justru membuat stok minyak goreng semakin terbatas, bahkan hampir tidak ada di pasar (Kurniawan, 2022).
Akibatnya, konsumen di berbagai daerah terpaksa mengantri panjang demi mendapatkan minyak goreng, sementara sebagian produsen malah menyalurkan minyak ke pasar gelap dengan harga jauh lebih tinggi.
Kondisi ini menimbulkan distorsi pasar, di mana permintaan yang tinggi tidak dapat diimbangi oleh pasokan yang memadai, sehingga menghilangkan efisiensi pasar.
Dari perspektif ekonomi, keadaan ini menyebabkan "deadweight loss" yaitu kerugian kesejahteraan sosial karena sumber daya tidak digunakan secara optimal.
Baca Juga: Batik Parang Kaliurang Tembus Pasar Luas, BRI Dorong UMKM Naik Kelas Lewat Program Desa BRILiaN
Data dari Tempo.co (2022) menunjukkan bahwa harga rata-rata minyak goreng curah nasional melonjak hingga Rp18.300 per liter, berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diberlakukan oleh pemerintah.
Harga minyak goreng kemasan juga mengalami kenaikan, di mana kemasan sederhana mencapai Rp23.000 per liter dan kemasan premium naik hingga Rp25.600 per liter.
Dibandingkan hari sebelumnya, harga kemasan sederhana naik sebesar Rp200, sedangkan kemasan premium meningkat Rp100.
Ketidakstabilan harga ini tidak hanya mencerminkan kegagalan pasar, tetapi juga dampak negatif dari kebijakan harga yang menekan sisi penawaran.
Ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran semakin memburuk akibat harga yang tidak fleksibel, sehingga produsen kehilangan insentif untuk memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng.
Dalam perspektif efisiensi pasar, intervensi pemerintah sebaiknya diarahkan pada cara yang tidak menghambat mekanisme harga, misalnya dengan memberikan subsidi langsung kepada kelompok masyarakat rentan atau pengendalian distribusi secara transparan.
Hal ini akan menjaga sinyal harga agar tetap mencerminkan kondisi pasar sehingga produsen terdorong untuk terus memasok produk.
Selain itu, pengawasan ketat terhadap rantai distribusi penting untuk mencegah penimbunan dan praktik spekulasi yang merugikan konsumen.