Naik Gunung karena FOMO: Panggilan Alam atau Sekadar Ajang Validasi?

photo author
- Senin, 23 Juni 2025 | 18:53 WIB
Matahari Terbenam di Gunung Pesawaran, Lampung. (Dok.Istimewa)
Matahari Terbenam di Gunung Pesawaran, Lampung. (Dok.Istimewa)

ASPIRASIKU - Dulu, mendaki gunung adalah simbol dari pencarian makna, pelarian dari penatnya kota, atau sekadar ingin berkegiatan dengan alam. Tapi kini, semakin banyak orang yang naik gunung bukan hanya untuk menikmati sunyi, melainkan untuk mengabadikannya dalam bentuk konten dan validasi sosial.

Media sosial telah mengubah cara kita untuk memaknai perjalanan. Jika dulu pendakian merupakan perjalanan spiritual atau personal, sekarang, sebagian orang memulai pendakian dengan satu tujuan, yakni menyajikan feed Instagram yang estetik atau video TikTok yang “relatable.”

Saya menulis ini karena saya melihat tren mendaki hari ini makin ramai, tapi terkadang lupa akan makna yang sesungguhnya hingga kemungkinan memperbesar risiko yang tidak diinginkan saat mendaki.

Saya juga pernah jadi bagian dari itu "mendaki demi eksistensi". Tapi semakin lama, semakin saya sadar, alam bukan panggung, ia adalah cermin. Cermin yang memperlihatkan siapa kita sebenarnya saat lelah, saat takut, dan saat benar-benar sendiri.

Baca Juga: BPBD DKI Jakarta Keluarkan Peringatan Dini Potensi Banjir Rob 21–29 Juni 2025

Gunung sebagai Latar, Bukan Tujuan?

Tidak ada yang salah dengan cara membagikan pengalaman mendaki. Tapi terkadang, fokusnya bergeser. Kamera selalu standby, pose sudah diatur, caption sudah dipikirkan bahkan sebelum tiba di puncak. Apakah kita benar-benar hadir untuk menikmati keindahan alam? Atau justru hanya hadir agar terlihat seperti kita sedang menikmatinya?

Ada yang rela naik hanya demi foto di puncak gunung, lalu turun tanpa benar-benar menyadari apa yang baru saja ia lewati, seperti suara angin di antara pepohonan, kabut pagi yang menyelimuti hutan, atau rasa syukur yang datang dari setiap langkah berat hingga kesalahan-kesalahan saat berkegiatan mendaki.

Validasi Sosial: Sebuah Fenomena Diam-diam
Mendaki juga kini bisa menjadi ajang pembuktian:

“Gue anak alam.”
“Gue kuat, udah ke puncak ini-itu.”
“Gue beda dari yang lain, enggak cuma nongkrong di kafe.”
"Anak gunung banget lo."

Sayangnya, pencarian validasi seperti itu seringkali membuat kita lupa bahwa mendaki bukan lomba. Bukan soal siapa yang paling banyak sampai puncak, namun soal apa yang kita temukan selama perjalanan.

Baca Juga: Wisatawan Asal Brasil Terjatuh di Gunung Rinjani, Tim SAR Kerahkan Upaya Maksimal Evakuasi

Kembali ke Esensi

Mendaki gunung bisa diartikan tentang belajar rendah hati di hadapan alam. Tentang bagaimana kita menghadapi keterbatasan diri, menyatu dengan alam, dan merayakan keheningan. Jika kita ingin mengambil foto, ambillah. Jika ingin membuat konten, buatlah. Tapi jangan sampai itu jadi satu-satunya alasan kenapa kita mendaki.

Biarkan pendakian tetap menjadi perjalanan, bukan cuma dari kaki ke puncak, namun dari ego menuju kesadaran.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Dwi Puja Arrahman

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Menggerakkan Roda Literasi Masyarakat

Jumat, 7 November 2025 | 18:37 WIB

DEMONSTRASI: AKUMULASI KEKECEWAAN RAKYAT

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 15:02 WIB

MARWAH KAMPUS TUMBANG LEWAT IZIN TAMBANG

Selasa, 28 Januari 2025 | 06:00 WIB

Penyebab Banjir di Bandar Lampung Pure Cuaca Ekstrem?

Senin, 26 Februari 2024 | 13:00 WIB

Pesan Penting untuk Anakku....

Selasa, 16 Januari 2024 | 20:32 WIB

Harap-harap Cemas PON Lampung

Senin, 27 November 2023 | 19:56 WIB
X