ASPIRASIKU - Kabar soal aktivitas penambangan nikel di kawasan Raja Ampat kembali menjadi sorotan publik, terutama di media sosial.
Kekhawatiran terhadap potensi kerusakan lingkungan muncul, mengingat Raja Ampat dikenal sebagai ikon wisata bahari dunia dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Polemik ini menyeret nama PT GAG Nikel yang beroperasi di Pulau Gag.
Namun, sorotan terhadap perusahaan ini dinilai tidak tepat sasaran. Hal tersebut disampaikan oleh anggota DPD RI asal Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayor, yang menilai bahwa perhatian seharusnya tertuju pada PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Anugerah Pertiwi Indotama.
Baca Juga: AgenBRILink Perkuat Inklusi Keuangan di Pelosok, Wahyu Cell Jadi Contoh Sukses dari Sultra
“Kunjungan Menteri ESDM ke Pulau Gag salah sasaran. Izin baru yang menimbulkan protes masyarakat justru berada di Manyefun, Batang Pele, dan Paam,” ujar Paul kepada media.
Menurutnya, kedua perusahaan tersebut menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa melalui kajian publik yang memadai. Hal ini dinilai berpotensi merusak terumbu karang dan mengganggu ekosistem laut.
Secara geografis, lokasi tambang baru di Batang Pele dan Manyefun hanya berjarak sekitar 29 kilometer dari Piaynemo, destinasi wisata unggulan Raja Ampat.
Jarak yang dekat inilah yang membuat aktivitas tambang dinilai sebagai ancaman serius bagi keberlanjutan pariwisata dan ekonomi lokal.
Baca Juga: Idul Adha 1446 H, BRI dan Bapekis Salurkan 961 Hewan Kurban sebagai Wujud Kepedulian Sosial
Senada dengan itu, pemandu wisata lokal, Patrick Nathanael Lintamoni, mengingatkan bahwa Pulau Yevnabi—tempat ikan pari manta dan bayi paus sperma membersihkan tubuh dari parasit (cleaning station)—hanya 15 kilometer dari Batang Pele.
“Kondisi lima pulau suaka alam, yakni Manyefun, Waisilip, Bianci, Mutus, dan Nyos Manggara, masih terjaga. Tapi siapa yang bisa menjamin jika tambang mulai beroperasi?” kata Patrick.
Raja Ampat saat ini menyandang status UNESCO Global Geopark dan merupakan Kawasan Konservasi Perairan Nasional yang menyimpan lebih dari 70 persen spesies karang dunia.
Masyarakat lokal dan aktivis lingkungan mendesak pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, untuk meninjau ulang IUP tambang baru dan memastikan perlindungan kawasan dari eksploitasi yang mengancam keberlanjutan ekosistem dan sektor pariwisata.***