Baca Juga: Layang-layang Jadi Teror Whoosh, 50 Kali Ganggu Kereta Cepat, Sampai Tertunda hingga 50 Menit
Dalam kepercayaan Jawa, malam 1 Suro juga erat kaitannya dengan roh-roh leluhur dan dunia ghaib.
Masyarakat percaya bahwa malam ini adalah saat yang tepat untuk melakukan kontak spiritual, meminta petunjuk atau perlindungan dari leluhur.
Karena itu, tidak sedikit yang melakukan nyadran atau ziarah kubur untuk mendoakan arwah keluarga dan memohon berkah dari alam leluhur.
Sebagian masyarakat Jawa bahkan menganggap malam 1 Suro sebagai malam wingit, yaitu malam yang dianggap angker atau memiliki nuansa mistis yang sangat kuat.
Baca Juga: BRI Salurkan Ribuan Rumah Subsidi Lewat FLPP, Targetkan 17.701 Unit pada 2025
Keyakinan ini membuat banyak orang lebih memilih untuk berada di rumah, menghindari keramaian, dan melakukan perenungan pribadi.
Ketakutan bukanlah alasan utama, melainkan penghormatan terhadap malam yang dianggap penuh aura spiritual tersebut.
Malam 1 Suro juga menjadi momen introspeksi dan transformasi diri. Dalam filsafat Jawa, hidup diibaratkan sebagai perjalanan panjang yang penuh lika-liku.
Maka, 1 Suro adalah kesempatan untuk menata kembali niat, menyucikan hati, dan meneguhkan tekad menghadapi tantangan kehidupan ke depan.
Para pelaku kebatinan menyebut malam ini sebagai momentum "ngasah roso" atau mengasah rasa, yakni mempertajam intuisi, memperkuat iman, dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Ada pula yang memaknai malam 1 Suro sebagai waktu pembukaan aura, yaitu saat di mana seseorang bisa menerima limpahan energi dari alam semesta jika ia berada dalam kondisi suci lahir dan batin.
Oleh karena itu, mandi kembang, meditasi tengah malam, hingga mengheningkan cipta menjadi kegiatan yang banyak dilakukan.
Tradisi lainnya yang cukup dikenal adalah larung sesaji, yaitu membuang sesaji ke laut atau sungai.