Baca Juga: Khutbah Jumat 26 November 2021, Terbaru Hari Ini yang Bisa Disampaikan Khotib tentang Kematian
Aku dan Sonia pun putus.
**
Itu, tujuh bulan lalu. Sampai saat ini Sonia tak pernah memberikan jawaban terhadap keputusanku untuk meninggalkannya. Tak ada juga kabar hingga saat ini. Hingga saat aku diperlihatkan kisah asmara dua sejoli yang nekat pergi meninggalkan rumah dan memilih tinggal dengan kekasihnya. Meski beberapa minggu. Ini sungguh mengecewakan kedua orang tuanya.
Tak berselang. Ketika satu persatu orang-orang yang menonton kehebohan di salah satu kos diseberang kosanku pergi, hingga akhirnya menjadi sepi dan malam menyapa hening. Aku dan Seto merebahkan badan. Ingin sekali istirahat yang nyaman setelah menyakiskan kisah yang melelahkan.
Tapi apa yang kuharapkan hanya sekedar keinginan. Tak selang lama ada telepon masuk ke dalam teleponku. Mamah Sonia. Ibu mantan pacarku yang sudah enam bulan berlalu putus.
“Nak Jay, lagi di mana nak?” sapanya dengan suara yang serak, suara usai menguraikan air mata yang begitu banyak, suara yang kudengar itupun terdengar seperti ada upaya menyekak air mata yang hendak tumpah.
Baca Juga: Apa itu Model Bisnis Canvas? Berikut Penjelasan dan Contoh Lengkapnya, Bisa Selesai Hanya 5 Menit
“Di kosan bu. Baru pulang dari Malang tadi pagi,” aku jawab pertanyaan itu dengan lembut, namun diselingi dengan rasa heran, aku menjadi bertanya-tanya dalam benakku sendiri, “Ada apa ini?”
“Nak bisa ke rumah sakit. Sonia mau melahirkan,” air mata si ibu benar-benar tumpah. Dan kalimat itu membuatku kaget sejadi-jadinya.
“Lah kok bisa. Lalu, kenapa Jay harus ke sana. Bukan Jay yang menghamili Sonia bu,” jawabku bingung dengan ekspresi yang masih tidak percaya. Jawaban yang kusampaikanku pun tersengal-sengal.
“Iya, ibu tau itu. Tapi ibu mohon kemari ya nak,” ini suara ibu yang sudah tidak tahu mau berucap apalagi? Suara seorang ibu yang tentunya sangat terpukul dengan kejadian yang ia tengah alami.
Akupun mengiyakan, menjawab apa yang diminta, tak tega aku mendengar suara seorang ibu yang memelas seperti itu. Sampai akhirnya, aku memutuskan ke rumah sakit, memenuhi permintaan mamahnya Sonia, seseorang yang aku juga sudah anggapnya seorang ibu.
Keberangkatanku ke rumah sakit ditemani Seto. Aku tak ingin pergi sendiri. Jika seandainya aku dihakimi dianggap salah, setidaknya Seto bisa membelaku. Aku dan Seto tergopoh-gopoh untuk bisa segera sampai di rumah sakit. Setibanya, lorong-lorong dengan hilir mudik penjenguk lainnya aku telusuri, bertanya pada perawat yang lewat ruangan tempat Sonia berada.