ASPIRASIKU – Masih soal wartawan. Kali ini saya menulis tentang kinerja wartawan yang di era digital ini memang semakin dimudahkan.
Selain mudahnya melakukan copy paste, sekarang berbagai rilis dari Pemda, instansi, BUMN, swasta, dan perguruan tinggi selalu meramaikan grub-grub WA wartawan.
Ini tentu membuat para wartawan tak perlu lagi capek-capek nyari berita ke lapangan. Tinggal edit-edit dikit judul dan angle dari rilis-rilis ini, lalu kirimlah lah ke redakturnya. Wah enaknya...
Tapi di tulisan ini saya nggak menyoroti soal rilis-rilis itu, melainkan soal wartawan sekarang yang terlalu mudah membuat kesimpulan di berita yang ia tulis tanpa ada data sama sekali.
Saya baru membaca satu media yang membuat berita tentang "Kepala Daerah A berhasil membuat pertumbuhan ekonomi melesat meski lagi pandemi".
Lalu saya baca semua isi beritanya untuk mengetahui berapa besar pertumbuhan ekonomi yang dimaksud. Apakah perhitungannya secara Year on Year, Month to Month atau per kuartal.
Namun dari awal tulisan sampai akhir, tidak saya temukan satupun data yang menjelaskan soal pertumbuhan ekonomi itu.
Di dalam berita ada empat narasumber yang dimintai tanggapan. Ternyata dari keempat orang ini, tidak satupun yang menjelaskan data secara akurat dari sumber terpercaya.
Semua hanya mengarahkan narasi bahwa si Kepala Daerah A memang sudah berhasil membangkitkan ekonomi pas lagi pandemi.
Artinya si wartawan sudah membuat kesimpulan di berita bahwa benar ekonomi kita meroket hanya berdasarkan ‘bacotan-bacotan’ si narasumber.
Saya jadi bertanya, kok bisa berita tanpa data seperti ini lolos dari seleksi di tingkatan redaktur atau pemrednya?
Harusnya semua berita yang disiarkan kepada publik sudah terverifikasi dan datanya teruji. Itulah bedanya media pers dan media sosial.
Pengelola medsos tidak melakukan verifikasi ataupun konfirmasi, karena mereka memang tidak punya tanggungjawab soal itu.
Tapi bagi wartawan, jurnalis, media pers itu sudah jadi hukum utama yang nggak bisa ditoleransi.
Hal itu pun jelas sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Pada pasal 3 KEJ disebutkan : Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.