DEMONSTRASI: AKUMULASI KEKECEWAAN RAKYAT

photo author
- Sabtu, 30 Agustus 2025 | 15:02 WIB
Aksi ricuh dalam demonstrasi di Semarang. Polisi amankan 10 orang. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)
Aksi ricuh dalam demonstrasi di Semarang. Polisi amankan 10 orang. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

Demonstrasi besar-besaran ini bukan tindakan reaksioner sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan atas banyaknya kesewenangan, atas banyaknya tawa dan canda pejabat di tengah penderitaan rakyat kecil, serta atas diam dan enggannya banyak pihak untuk peduli pada sesama.

Baca Juga: JNE Resmikan Gerai Pertama di IKN, Pengiriman Kini Hanya 1-2 Hari

Kekecewaan dan kemarahan itu terakumulasi menjadi bara api, kepulan asap, sorak teriak, serta darah dan air mata.

Siapapun yang memiliki hati dan mau berpikir pasti geram, melihat orang tak berdosa kehilangan nyawa saat bekerja untuk membayar pajak yang ternyata digunakan membeli kendaraan taktis dan membayar gaji orang yang melindasnya.

Hilangnya nyawa orang tak berdosa ini tak cukup membuat penguasa diam dan berpikir jernih.

Mereka tetap melihat semua aksi demonstrasi sebagai upaya yang dilakukan pihak asing untuk memecah-belah bangsa, bukan sebagai bahan koreksi dan refleksi atas kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Baca Juga: Waspada Oli Palsu, Begini Cara Membedakan Oli Motor Asli dan Tiruan

REFLEKSI SEJARAH

Kejadian hari ini memperlihatkan bahwa para pemegang kekuasaan tak pernah benar-benar belajar memahami sejarah.

Mereka seolah hilang ingatan atas peristiwa yang dulu menimpanya.

Mereka yang saat ini duduk di kursi kekuasaan adalah pelaku sejarah di masa lalu—para aktor yang turun ke jalan, berteriak menuntut keadilan, menggulingkan tirani, dan mencita-citakan demokrasi yang berakar pada kedaulatan rakyat.

Tapi realitas hari ini menyuguhkan ironi yang pahit: mereka ternyata bukan menggulingkan Orde Baru untuk memutuskannya, melainkan justru menduplikasi gaya, mekanisme, bahkan semangat otoritariannya untuk melahirkan sesuatu yang lebih lihai namun tetap menindas—New Orba.

Baca Juga: Dansat Brimob Temui Pendemo, Tegaskan Anggota Terlibat Tewasnya Driver Ojol Diperiksa di Mabes Polri

Apa yang dahulu dikutuk—militerisme dalam urusan sipil, privilese pejabat, kekerasan aparat, dan manipulasi hukum—kini mereka ulang dengan wajah yang lebih "modern", namun esensinya tetap menindas dan menjauh dari cita-cita reformasi.

Mereka tampaknya tidak hanya gagal memahami sejarah, tetapi juga secara sadar mengkhianatinya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Yoga Pratama Aspirasiku

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Menggerakkan Roda Literasi Masyarakat

Jumat, 7 November 2025 | 18:37 WIB

DEMONSTRASI: AKUMULASI KEKECEWAAN RAKYAT

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 15:02 WIB

MARWAH KAMPUS TUMBANG LEWAT IZIN TAMBANG

Selasa, 28 Januari 2025 | 06:00 WIB

Penyebab Banjir di Bandar Lampung Pure Cuaca Ekstrem?

Senin, 26 Februari 2024 | 13:00 WIB

Pesan Penting untuk Anakku....

Selasa, 16 Januari 2024 | 20:32 WIB

Harap-harap Cemas PON Lampung

Senin, 27 November 2023 | 19:56 WIB
X