Dan inilah realitas getir yang harus kita hadapi: Orde Baru tidak pernah benar-benar mati.
Ia hanya berganti kulit, beradaptasi dengan zaman, dan kini hidup dalam tubuh-tubuh baru yang dulu berdiri sebagai oposisinya.
Refleksi ini menuntut kesadaran kolektif kita. Sebab sejarah yang tak dipelajari akan terus berulang.
Dan jika pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dibiarkan terus berlangsung, maka Indonesia akan kembali terjebak dalam siklus otoritarianisme, dengan rakyat sebagai korban abadi dari kekuasaan yang lupa daratan.
Baca Juga: Beasiswa Santri BAZNAS 2025 Telah Dibuka, Ini Persyaratan yang Harus Diketahui untuk Mendaftar
SOLUSI DAN PENUTUP
Demonstrasi yang meledak hari ini bukanlah ledakan spontan tanpa akar—ia adalah akumulasi panjang dari kekecewaan yang dibungkam, harapan yang dikhianati, dan janji-janji kekuasaan yang tinggal retorika kosong.
Ini bukan sekadar reaksi atas kenaikan tunjangan atau pajak daerah, melainkan perlawanan terhadap kemunafikan struktural yang terus menjauh dari semangat reformasi.
Ketika rakyat turun ke jalan, itu bukan karena mereka tak punya cara lain, tapi karena seluruh saluran demokrasi telah dibanjiri kepentingan segelintir elite.
Dalam demonstrasi ini, rakyat sedang bicara dengan bahasa terakhir yang mereka miliki.
Maka, bila negara masih gagal mendengarkan, jangan salahkan bila sejarah kembali menuntut haknya untuk mengoreksi kekuasaan yang lupa diri.
Rakyat tidak butuh janji, kami menuntut solusi dan tindakan pasti. Adili siapa pun yang menyakiti rakyat, pecat yang tak layak, reformasi penuh instansi yang terus melakukan kesalahan berulang.
Tulisan ini adalah bentuk menyalurkan keresahan sekaligus pengingat bagi penguasa dan kita semua.
Rakyat berhak marah atas ketidakbecusan penguasa, namun kita juga mesti ingat kenapa kita marah dan apa yang kita perjuangkan.