Naik Gunung karena FOMO
Sering mendengar FOMO (Fear of Missing Out). Banyak yang akhirnya memutuskan untuk mendaki hanya karena “semua orang juga lagi naik gunung.” Takut dianggap tidak gaul, takut gak punya cerita, atau takut tidak punya “bukti” petualangan di media sosial.
Padahal, ketika motivasi datang dari rasa takut ketinggalan, bukan dari keinginan yang tulus, pendakian dapat kehilangan makna, bahkan bisa menjadi berbahaya. Mereka yang naik hanya karena FOMO sering kali mengabaikan pentingnya persiapan fisik, pemahaman medan, serta aspek keselamatan lainnya. Tujuan utamanya bukan lagi “merasakan,” melainkan “mengikuti” dan “mengabadikan.
Mendakilah bukan hanya demi konten, tapi demi koneksi dengan alam, dengan orang lain, dan dengan diri sendiri.
Baca Juga: Mengapa Pendidikan Nilai Menjadi Aspek Penting dalam Sistem Pendidikan Saat Ini? Alasannya...
Butuh Edukasi dan Kesadaran Kolektif
Fenomena ini bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga menjadi panggilan bagi komunitas pendaki, pengelola jalur gunung, dan bahkan influencer pendakian untuk bisa memberikan contoh yang benar. Edukasi soal manajemen risiko, teknik dasar navigasi, etika mendaki, dan pelestarian alam harus terus digaungkan.
Pendakian seharusnya menjadi ajang refleksi, bukan validasi. Ketika seseorang mendaki dengan niat yang benar, pengetahuan yang cukup, serta sikap hormat terhadap alam, maka pengalaman yang didapat jauh lebih berharga daripada sekadar likes dan komentar.
Naik gunung dapat menjadi pengalaman yang sangat bermakna dan membentuk karakter. Tapi mari kita jujur pada diri sendiri, apakah kita naik gunung karena benar-benar ingin menyatu dengan alam, atau hanya ingin terlihat keren?
Gunung akan selalu ada. Tapi keselamatan, pengetahuan, dan kesadaran tidak bisa ditunda. Maka dari itu, sebelum mendaki, pastikan kita tahu apa yang kita hadapi. Bukan untuk diakui, tapi untuk bertumbuh.***