ASPIRASIKU — Ketegangan ekonomi global semakin mencuat usai Presiden AS Donald Trump resmi menaikkan tarif dagang terhadap China dari sebelumnya 104 persen menjadi 125 persen.
Sementara kepada 75 negara lainnya, Trump justru menunda pemberlakuan tarif resiprokal jilid II selama 90 hari—mengecualikan China dari daftar tersebut.
Langkah ini sontak memicu pecahnya kembali perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, AS dan China.
Menyikapi hal itu, China kemudian mengajak Australia untuk membentuk aliansi dagang sebagai langkah strategis melawan tekanan tarif AS.
Baca Juga: Jumlah Korban Kekerasan Seksual Dokter Residen RSHS Bertambah, Polisi Buka Hotline Pengaduan
Namun ajakan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Australia.
Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, melalui pernyataannya yang dikutip dari Reuters, Kamis (10/4), menegaskan bahwa Australia tidak akan berpihak dalam persaingan dagang antara AS dan China.
"Kami tidak akan bergandengan tangan dengan China dalam hal persaingan apapun yang tengah berlangsung di dunia," ujarnya.
Richard menyatakan bahwa alih-alih memihak, Australia akan terus mengejar strategi diversifikasi perdagangan sebagai bentuk penguatan ekonomi nasional.
Salah satunya adalah dengan mengurangi ketergantungan terhadap China, yang selama ini menjadi mitra dagang utama Australia.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pemerintah Australia tengah membangun kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan berbagai kawasan dan negara lain, seperti Uni Eropa, Indonesia, India, Inggris, hingga Timur Tengah.
"Kami tidak melakukan hal itu (bergabung dengan China). Apa yang kami lakukan adalah mengejar kepentingan nasional Australia dan mendiversifikasi perdagangan kami di seluruh dunia," tegasnya.