ASPIRASIKU – Dunia kembali menyoroti Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump menandatangani empat perintah eksekutif yang memperkuat dominasi industri bahan bakar fosil, termasuk batu bara.
Di tengah perlombaan global menuju energi bersih, langkah ini dinilai sebagai kemunduran serius dalam upaya mengatasi krisis iklim.
Trump menyebut kebijakan tersebut sebagai akhir dari "perang terhadap batu bara yang indah dan bersih" yang menurutnya dilancarkan oleh Joe Biden dan Barack Obama.
"Kami mengakhiri perang Joe Biden terhadap batu bara yang indah dan bersih, sekali dan untuk selamanya," tegas Trump saat memberikan pernyataan bersama para penambang, Rabu (9/4).
Baca Juga: Gara-Gara Daging Babi, Australia Kena Getah Tarif Impor dari Trump
Empat kebijakan baru yang diteken Trump mencakup penundaan penutupan pembangkit tua, percepatan izin tambang di lahan federal, pembentukan dewan energi khusus untuk memangkas hambatan regulasi, serta investigasi terhadap negara bagian yang dinilai menghambat industri batu bara.
Langkah ini langsung berdampak pada pasar. Harga batu bara global tercatat naik menjadi US$100,25 per ton atau sekitar Rp2 juta pada 8 April 2025, meningkat 1,37% dari hari sebelumnya.
Batu bara menjadi satu-satunya komoditas energi yang mengalami penguatan saat ini.
Namun, istilah “batu bara bersih” yang digaungkan Trump menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Pemerhati lingkungan menilai istilah tersebut menyesatkan karena pembakaran batu bara tetap menghasilkan emisi karbon tinggi, sementara teknologi “bersih” yang dijanjikan belum teruji secara luas dan masih mahal.
Kebijakan ini dinilai berisiko memperlemah komitmen AS terhadap Perjanjian Paris dan memperburuk krisis iklim global.
Sejak kembali menjabat, Trump memang konsisten membalikkan kebijakan energi era Biden dan Obama.
Baca Juga: Ada Bukti CCTV! Peserta PPDS Unpad Diduga Bius dan Perkosa Keluarga Pasien di RSHS Bandung Ditahan