Namun, sejak tutupnya banyak pabrik tapioka di berbagai daerah (25 Januari 2025) hingga saat ini, tidak ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah -baik pusat maupun daerah- untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Padahal, pemerintah seharusnya dapat menindak tegas para pengusaha yang melanggar Surat Edaran dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perindustrian, bahkan Pasal 9 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan kewajiban pelaku usaha untuk menyediakan barang dengan harga yang adil dan tidak memberatkan konsumen atau pihak lain.
Berdasarkan UU tersebut, teranglah bahwa surat edaran gubernur yang menetapkan harga beli singkong untuk menjaga keberlanjutan kesejahteraan petani dan konsumen, maka pelanggaran terhadap ketentuan tersebut bisa dipandang sebagai pelanggaran terhadap perlindungan konsumen atau pengaturan harga yang adil.
Penutupan pabrik ini tentu menimbulkan permasalahan baru bagi petani. Selain tidak mungkin menjual hasil panen dengan harga rendah, mereka juga dihadapkan pada kekuatan besar pengusaha yang dapat bertindak sewenang-wenang demi kepentingan pribadinya.
Baca Juga: BRI Perkuat Kredit untuk Pengusaha Mikro, Holding UMi Salurkan Rp626,6 Triliun
Untuk itu, peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan polemik ini guna mendorong kesejahteraan petani.
Terlebih lagi, luas lahan singkong di Provinsi Lampung mencapai lebih dari 243 ribu hektare (2023) yang tersebar di Kabupaten Lampung Tengah (121.000 ha), Kabupaten Lampung Utara (53.994 ha), Kabupaten Lampung Timur (49.000 ha), dan Kabupaten Mesuji.
Dengan lahan pertanian seluas itu, tentu hasil panen petani pun akan sangat melimpah.
Namun jika hasil pertanian tersebut tidak terserap, tentu akan berdampak pada menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan parahnya lagi, berapa banyak petani yang akan semakin jauh dari kata sejahtera?
Baca Juga: Alat dan Bahan Membuat Tape Singkong, Cara Bikin Proses Pembuatannya Sebagai Berikut
Langgengnya permainan harga yang dilakukan oleh pengusaha ini disebabkan oleh terbukanya keran impor secara bebas sehingga hasil panen masyarakat tidak terserap akibat kalah bersaing dengan produk impor dari negara lain.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin cita-cita mewujudkan ketahanan pangan hanyalah omon-omon semata.
Sebab, gagalnya petani singkong dalam menjual hasil panen mereka tidak hanya berdampak pada kesejahteraan petani itu sendiri, tetapi juga memiliki konsekuensi yang luas terhadap penyediaan pangan.
Kerawanan pangan yang disebabkan oleh kegagalan pasar, harga yang tidak stabil, dan penurunan daya beli petani akan mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan yang bergizi dan cukup.
Baca Juga: BRI Peduli Gelar Layanan Kesehatan Gratis bagi 13.200 Warga di Seluruh Indonesia