SKB tersebut dihasilkan dari Rapat Koordinasi yang dipimpin langsung oleh Pj. Gubernur Lampung pada 23 Desember 2024.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Burung Hantu Menguntungkan Bagi Petani, Jawabannya...
Namun nyatanya SKB tersebut tidak mampu membuat perusahaan patuh, mereka masih menerapkan harga di bawah Rp1.400/kg dan refaksi mencapai 35%.
Menanggapi aksi tersebut, Pemprov Lampung kembali memperkuat SKB dengan Surat Edaran Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2025, tertanggal 13 Januari 2025 tentang Pembinaan Petani dan Monitoring Harga Serta Kualitas Ubi Kayu di Provinsi Lampung.
Dalam Surat Edaran tersebut, termuat empat hal penting, yaitu:
1. Pembinaan dan monitoring harga serta kualitas ubi kayu di lapak dan perusahaan.
2. Pelaksanaan tera ulang timbangan di seluruh lapak dan perusahaan.
3. Pengembangan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah ubi kayu, seperti produk Mocaf dan turunan lainnya.
4. Penegakan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar kesepakatan harga dan refaksi.
Baca Juga: Inilah Rute Kereta Api Terjauh di Indonesia, KA Blambangan Ekspres, Cek Harga Tiket dan Rutenya
Namun lagi-lagi, industri tapioka tidak mengindahkan surat edaran tersebut. Parahnya lagi, para pengusaha tapioka justru menutup pabriknya sehingga petani tidak dapat menjual hasil panennya yang melimpah.
Para pengusaha menutup pabriknya dengan dalih harga produksi tapioka secara global yang terus meningkat sehingga mereka tidak mampu membeli singkong para petani dengan harga yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran.
Penutupan pabrik secara tiba-tiba ini dapat dicurigai sebagai upaya pengusaha dalam “mengamankan diri” dan menekan petani untuk tetap menjual singkong sesuai harga yang diinginkan pengusaha.
Praktik ini secara nyata telah mengkhianati SKB, mengangkangi Surat Edaran Gubernur, dan melanggar aturan yang ada.
Baca Juga: ITERA Gelar Workshop Pembuatan Moisturizer Ekstrak Bunga Telang di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung