Banyak perempuan menderita infeksi, kelumpuhan, hingga kematian akibat proses mengikat kaki yang tidak higienis.
Namun di sisi lain, beberapa perempuan tua yang pernah menjalani praktik ini mengaku tetap bangga karena merasa itu adalah bagian dari identitas dan kebanggaan mereka sebagai perempuan "terhormat".
Kini, hanya sedikit perempuan tua yang masih hidup dan menyimpan jejak kaki teratai mereka sebagai warisan.
Foto-foto dan sepatu teratai tersisa menjadi saksi bisu dari sebuah masa ketika estetika tubuh ditentukan oleh rasa sakit dan kekuasaan.
Baca Juga: Mau Jadi Mahasiswa PKN STAN tahun 2025? Cek Informasi Penting Ini Supaya Tidak Keliru
Di museum-museum seperti Museum Footbinding di Xiamen dan institusi-institusi sejarah di Beijing, peninggalan ini dipajang sebagai pengingat betapa norma kecantikan dapat menjadi alat kontrol sosial.
Tradisi mengikat kaki akhirnya menjadi pengingat yang kuat tentang bagaimana tubuh manusia — khususnya tubuh perempuan — bisa dijadikan objek simbolik dalam budaya.
Ia tidak berdiri sendiri sebagai bentuk penindasan, tetapi sebagai hasil konstruksi sosial yang kompleks, dibentuk oleh estetika, moralitas, dan hierarki sosial selama berabad-abad.
Dengan menelusuri jejak teratai emas ini, kita tidak hanya memahami sebuah praktik kuno yang ekstrem, tetapi juga mempelajari bagaimana sebuah masyarakat menciptakan — dan pada akhirnya menghapus — standar kecantikan yang mampu membentuk sejarah manusia secara nyata dan mendalam.
Baca Juga: UM CBT UGM 2025 Siap Dibuka! Beginlah Persyartannya, Jadwal, dan Biaya Pendaftarannya
Mungkin, dalam jejak-jejak kaki mungil itu, kita bisa menemukan pelajaran tentang kemanusiaan, identitas, dan kekuasaan yang masih relevan hingga kini.***