ASPIRASIKU - Di balik kiprah akademik Departemen Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), terdapat sepasang suami istri yang tidak hanya berbagi rumah dan profesi, tetapi juga visi besar tentang masa depan Indonesia.
Selasa (11/11), di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Prof. Ir. Budhijanto, S.T., M.T., Ph.D., IPM., dan Prof. Ir. Wiratni, S.T., M.T., Ph.D., IPM., dikukuhkan sebagai Guru Besar secara bersamaan—sebuah momen langka yang menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dapat tumbuh paling kuat ketika diperjuangkan bersama.
Dalam pidato pengukuhan mereka, keduanya menyoroti isu yang sama pentingnya bagi Indonesia: energi, pangan, dan lingkungan.
Dengan pendekatan khas teknik kimia yang berpadu nilai sosial-humaniora, mereka menekankan bahwa teknologi tidak hanya lahir dari laboratorium, tetapi dari kesadaran bahwa inovasi harus kembali untuk kehidupan.
Mengalirkan Ilmu Teknik Bioproses ke Masyarakat
Prof. Wiratni membuka pidatonya yang berjudul “Humanitarian Bioprocess Engineering” dengan ajakan agar ilmu teknik bioproses tidak berhenti sebagai teori, grafik, atau jurnal ilmiah semata.
Baginya, teknik bioproses adalah panduan penting untuk menciptakan proses produksi yang efisien dan berkelanjutan—memanfaatkan mikroorganisme sebagai sahabat dalam menghadapi krisis sumber daya dan tantangan Net Zero Emission (NZE).
Namun, ia mengingatkan bahwa teknologi bukan satu-satunya kunci. Bioproses dan bioteknologi akan sulit memberi manfaat jika masyarakat tak memahami atau enggan mengadopsinya.
Ia menyebut perlunya “rekayasa sosial” sebagai fondasi implementasi.
“Pupuk biologis, biogas, hingga teknologi pengolahan sampah tidak akan bekerja optimal jika perilaku konsumsi masyarakat tidak berubah,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan “detoksifikasi sosial” untuk benar-benar siap memasuki era teknologi hijau.
Di akhir pidatonya, Wiratni menyoroti pentingnya meruntuhkan sekat antar-ilmu.