ASPIRASIKU - Perbincangan mengenai kerugian besar yang dialami proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali mencuat di berbagai media, baik arus utama maupun media sosial.
Laporan keuangan tahun 2024 menunjukkan bahwa PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat kerugian hingga Rp2,6 triliun, sebagian besar disebabkan oleh biaya depresiasi, amortisasi, dan beban bunga pinjaman kepada China Development Bank (CDB), yang membiayai sekitar 75% dari total proyek.
Hingga kini, utang KCIC kepada CDB tercatat mencapai USD 4,55 miliar atau setara Rp75 triliun.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Klarifikasi Soal Dana Rp4,1 Triliun: Pemprov Jabar Tak Simpan Uang di Deposito
Sorotan publik semakin tajam setelah Prof. Anthony Budiawan, ekonom dan pengamat kebijakan publik, mengungkap dugaan adanya mark-up atau penggelembungan biaya dalam proyek KCJB yang kini dikenal dengan nama Whoosh.
Menurutnya, ada tiga alasan utama yang mengindikasikan dugaan tersebut:
Biaya pembangunan KCJB jauh lebih tinggi dibanding proyek sejenis di negara lain, termasuk di Tiongkok.
Beban bunga pinjaman dinilai lebih besar dibandingkan tawaran dari Jepang.
Pembengkakan biaya (cost overrun) yang menyebabkan total proyek membengkak hingga lebih dari USD 7 miliar.
Baca Juga: Telkom dan UMY Cetak 113 Ribu Talenta AI untuk Masa Depan Digital Indonesia
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino, menyatakan bahwa perhatian publik terhadap efisiensi proyek strategis yang menggunakan dana besar perlu diapresiasi.
Namun, ia menegaskan bahwa kesimpulan mengenai adanya mark-up atau korupsi harus dibuktikan melalui audit forensik.
“Saya mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit forensik independen terhadap seluruh proses evaluasi tender awal dan dokumen kontrak proyek KCJB,” ujarnya.
Harris menilai audit tersebut harus mencakup model evaluasi finansial, penilaian teknis, notulen rapat evaluasi, serta korespondensi dengan pihak pemberi pinjaman.