ASPIRASIKU - Kampus seharusnya menjadi ruang tumbuh yang sehat, ruang di mana ilmu, etika, dan karakter berkembang secara seimbang. Namun, di balik papan nama institusi pendidikan yang megah, ada kenyataan yang tidak semua orang berani bicara, hubungan tidak etis antara dosen dan mahasiswa, atau sering dibungkus dengan kata “skandal”.
Saya tidak menulis ini untuk mempermalukan siapa pun. Saya menulis karena saya yakin bahwa diam tidak pernah menyelesaikan apa pun.
Ketika Relasi Kuasa Disalahgunakan
Hubungan dosen dan mahasiswa bukanlah hubungan yang setara. Dosen punya kekuatan atas nilai, atas gelar, bahkan atas reputasi pelajar. Ketika kekuatan ini digunakan untuk menjalin hubungan pribadi yang melampaui batas profesional, maka yang terjadi bukanlah cinta, melainkan posisi.
Baca Juga: Heboh Diksi 'Perjokian' Karya Ilmiah Guru Besar di Unila, Kemendiktisaintek Turun Tangan
Kita sering mendengar, “Kan suka sama suka.” Tapi benarkah semudah itu?
Ketika satu pihak mempunyai kekuasaan atas masa depan pihak lain, suka tak lagi sepenuhnya bebas. Mahasiswa, terutama yang berada di bawah tekanan akademik bisa juga merasa tidak punya pilihan selain 'mengikuti alur'.
Bahkan jika pun ada rasa suka sekali, hubungan ini tetap tidak sehat karena lahir dari ketimpangan.
Korban Tak Selalu Perempuan, Tapi Mayoritas Perempuan
Banyak kasus seperti ini yang melibatkan mahasiswi sebagai korban. Mereka dipuji, didekati, diberi perhatian khusus, lalu perlahan-lahan masuk ke dalam hubungan pribadi yang sulit untuk keluar. Saat hubungan itu terungkap, siapa yang paling sering disalahkan? Tentu mahasiswi itu.
Mereka dicap sebagai "panjat sosial", "penggoda", "suka numpang nilai", sementara si dosen tetap dihormati. Bahkan tak jarang, si dosen justru naik jabatan, sementara si mahasiswa keluar diam-diam karena malu dan trauma.
Sayangnya, banyak kampus yang menutup mata terhadap isu ini. Tidak ada sanksi yang jelas, tidak ada ruang aman bagi para korban untuk melapor, dan tidak ada transparansi dalam penyelesaian kasus. Akibatnya, skandal seperti ini terus terjadi secara berulang dan hanya pelaku serta korban yang bergantian.
Beberapa orang terbiasa menganggap ini masalah pribadi. Namun ini adalah masalah struktural, karena terjadi dalam sistem pendidikan yang membiarkan kesenjangan hubungan kekuasaan tidak terkendali.