ASPIRASIKU - Rata sedih menjadi bagian kisah warga Afghanistan usah pengambilalihan wilayah oleh kelompok Taliban.
Kini warga Afghanistan menjual harta benda di tengah krisis uang tunai, krisis yang membayangi Pengambilalihan Taliban dan pemotongan dana internasional yang dihasilkan.
Inilah situasi yang semakin memperburuk ekonomi warga dan negara yang semakin hari semakin mengerikan.
Dilansir Aspirasiku dari Aljazeera, Senin 13 September 2021, Shukrullah membawa empat karpet untuk dijual di lingkungan Chaman-e Hozori di Kabul.
Baca Juga: Tak Ada Titik Temu Dialog dengan Amerika, Korea Utara Laksanakan Uji Coba Rudal
Area ini penuh dengan lemari es, bantal, kipas angin, bantal, selimut, peralatan perak, gorden, tempat tidur, kasur, peralatan masak, dan rak yang dibawa ratusan orang untuk dijual.
Barang-barang berjejer di blok-blok yang mengelilingi ladang yang dulunya berumput yang telah berubah menjadi tanah dan debu, akibat dari kurangnya perhatian dan kekeringan selama beberapa dekade.
Setiap item merupakan bagian dari kehidupan keluarga yang dibangun selama 20 tahun terakhir di ibukota Afghanistan.
Sekarang, mereka semua dijual dengan harga murah untuk memberi makan rumah tangga tersebut.
Baca Juga: Chord Kunci Gitar dan Lirik Suara Ku Berharap Hijau Daun
"Kami membeli karpet ini seharga 48.000 Afghan [$ 556], tapi sekarang saya tidak bisa mendapatkan lebih dari 5.000 Afghan [$ 58] untuk semuanya," kata Shukrullah, saat orang-orang mengobrak-abrik barang-barang yang dipajang sebagaimana dikutip dari Aljazeera.
Afghanistan telah menghadapi krisis uang tunai sejak Taliban menguasai ibukota pada 15 Agustus.
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan bank sentral AS memutus akses Afghanistan ke dana internasional dalam beberapa pekan terakhir.
Bank-bank di seluruh Afghanistan tutup dan banyak anjungan tunai mandiri tidak mengeluarkan uang tunai.