Banjir Bandang Beruntun di Sumatra, Pakar UGM Ingatkan Huntara–Huntap Harus Cegah Bencana Berulang

photo author
- Rabu, 17 Desember 2025 | 12:00 WIB
Kondisi rumah pascabanjir di Sumatera, endapan lumpur tinggi hampir sentuh atap. (Instagram/hadisitanggan - TikTok/r.f_95)
Kondisi rumah pascabanjir di Sumatera, endapan lumpur tinggi hampir sentuh atap. (Instagram/hadisitanggan - TikTok/r.f_95)

ASPIRASIKU - Rangkaian banjir bandang dan longsor yang terjadi secara beruntun di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menegaskan tingginya kerentanan geologi wilayah Sumatra.

Kondisi tersebut diperparah oleh kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim global, sehingga bencana geo-hidrometeorologi di kawasan ini kian sering terjadi dan berdampak luas.

Menanggapi situasi tersebut, Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, menekankan pentingnya kebijakan hunian sementara (Huntara) dan hunian tetap (Huntap) pascabencana yang berorientasi pada pencegahan bencana berulang, bukan sekadar memulihkan kondisi sebelum bencana.

Baca Juga: Boat Getek Terbalik di Peusangan Selatan Bireuen, Warga Lakukan Evakuasi Darurat, Satu Penumpang Belum Ditemukan

Menurut Dwikorita, berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), potensi hujan masih dapat berlangsung hingga Maret–April 2026.

Artinya, risiko banjir bandang dan longsor susulan masih sangat tinggi.

Karena itu, kebijakan hunian pascabencana tidak boleh berhenti pada fase tanggap darurat, tetapi harus terintegrasi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk pemulihan lingkungan secara menyeluruh.

Zona Rawan Menyimpan Memori Bencana

Dwikorita menjelaskan, banyak wilayah terdampak berada di kawasan kipas aluvial, yakni bentang alam hasil endapan banjir bandang di masa lalu.

Baca Juga: Lampu Kembali Menyala, Tangis Haru Pecah di Dapur Umum Pengungsi Bener Meriah

Secara geologi, kawasan ini merupakan zona aktif yang menyimpan memori bencana dan berpotensi kembali terlanda dalam rentang puluhan tahun.

“Jika kawasan ini kembali dijadikan hunian tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, melainkan diwariskan kepada generasi berikutnya,” tegas Dwikorita, Selasa (16/12).

Ia menambahkan, kerusakan lingkungan di wilayah hulu dan Daerah Aliran Sungai (DAS) mempercepat erosi serta meningkatkan volume material rombakan yang terbawa saat hujan ekstrem.

Akibatnya, periode ulang banjir bandang menjadi semakin pendek, bahkan dapat terjadi dalam kurun 15–20 tahun atau lebih cepat jika pemulihan lingkungan tidak segera dilakukan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Yoga Pratama Aspirasiku

Sumber: ugm.ac.id

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X