Baca Juga: PDIP Kaji Usulan Pilkada Dipilih DPRD, Hasto: Sistem Harus Bawa Manfaat bagi Rakyat
Perubahan Iklim Perburuk Risiko Alamiah
Mantan Kepala BMKG Prof. Dwikorita Karnawati menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko yang memang sudah tinggi sejak awal.
Kenaikan suhu global 1,55°C membuat frekuensi hujan ekstrem meningkat tajam, dan dapat mencapai 3,5°C pada akhir abad jika tidak ditekan.
Dengan curah hujan ratusan milimeter per hari, sistem hidrologi di Sumatera tidak lagi mampu menahan laju air.
“Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” katanya.
Baca Juga: BNPB Umumkan Update Terbaru: 916 Warga Meninggal, 274 Hilang Akibat Banjir dan Longsor di Sumatera
Ia juga menyoroti geologi Sumatera yang sangat labil. Batuan hasil tumbukan lempeng terbentuk dalam kondisi retak-retak, sehingga mudah longsor bahkan saat terjadi gempa kecil.
Longsoran ini kerap menyumbat sungai dan menciptakan bendungan alami yang suatu waktu dapat jebol dan memicu banjir bandang.
“Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” ujar Dwikorita.
Siklon Tropis Tak Lagi “Patuh Jalur”
Selain hujan ekstrem, anomali siklon tropis memperparah situasi. Siklon yang seharusnya tak menembus zona tropis kini justru tumbuh di wilayah Indonesia dan bergerak melintasi daratan, membawa hujan intens selama berhari-hari.
“Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” jelas Dwikorita.
Ia menyebut fenomena ini bukan kejadian tunggal, melainkan rangkaian pola yang telah terlihat sejak Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun lalu.