ASPIRASIKU — Sorotan publik terhadap banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kini mengarah pada kondisi hutan di tiga provinsi tersebut.
Arus banjir yang membawa kayu gelondongan di Tapanuli Selatan semakin memicu pertanyaan serius tentang kerusakan hutan di wilayah hulu.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkapkan terjadinya deforestasi masif di ketiga provinsi tersebut sepanjang 2016 hingga 2024, dengan total kehilangan tutupan hutan mencapai 1,4 juta hektare.
Deforestasi ini berkaitan dengan hilangnya tutupan hutan secara permanen akibat aktivitas manusia seperti penebangan, pertanian, perkebunan, hingga proyek pembangunan.
Baca Juga: Kisah Gotong Royong yang Menghangatkan Sumatera
WALHI: Negara Terlalu Mudah Mengeluarkan Izin
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyebut negara turut berperan dalam masifnya deforestasi di Sumatera.
“Kami percaya kehilangan tutupan hutan yang besar ini juga difaktori karena kemudahan-kemudahan perizinan yang diberikan oleh pengurus negara,” ujarnya dalam podcast Forum Keadilan TV, Jumat (5/12/2025).
Uli menyebut setidaknya terdapat 639 perizinan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Jenis izin tersebut meliputi izin tambang, hak guna usaha (HGU) perkebunan, termasuk perkebunan monokultur sawit skala besar.
Selain itu, terdapat pula izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang memungkinkan aktivitas logging, pemanfaatan hasil kayu, hingga pembangunan kebun kayu monokultur.
Proyek Energi Ikut Disebut Berkontribusi
WALHI juga menyoroti proyek-proyek energi, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar dan pembangkit listrik tenaga mini yang turut berhubungan dengan deforestasi.