ASPIRASIKU - Tidak banyak yang tahu tentang Kampung Atuka—sebuah desa kecil di Distrik Mimika Tengah, Papua, yang hanya bisa dicapai lewat sungai setelah menempuh perjalanan darat dan laut selama berjam-jam.
Namun di sanalah, jauh dari hiruk pikuk kota, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) membuktikan bahwa pengabdian bisa menembus batas geografi dan menjangkau hingga ke pelosok negeri.
Jejak Pertama di Tanah Atuka
Perjalanan menuju Atuka bukanlah hal yang mudah.
Rombongan tim dari Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM harus menunggu air pasang di Pelabuhan Pomako agar perahu kayu dapat melaju menembus aliran sungai yang memisahkan mereka dari kampung tujuan.
Baca Juga: Maia Estianty Bongkar Cara El Rumi PDKT dengan Syifa Hadju: Kirim Makanan Penuh Doa
“Kami harus menunggu air pasang terlebih dahulu agar perahu bisa jalan,” tutur Rustamaji, Direktur DPkM UGM, saat meninjau lokasi KKN-PPM pada Jumat (1/8).
Namun sesampainya di Atuka, segala lelah seolah terbayar.
Langit biru yang membentang, udara bersih tanpa polusi, dan tawa anak-anak yang menyambut—semua itu menjadi penyambutan paling jujur yang bisa diberikan alam dan manusia.
Kehangatan yang Sederhana
Di pondokan mahasiswa KKN, sambutan hangat diberikan dengan kue kelapa hijau dan bakpao yang disiapkan oleh para mahasiswa.
Baca Juga: Fikhri Astina Tasmara, Doktor Fisika Termuda UGM yang Belajar dari Senyum Ayah dan Langkah Kakak
Bersama anak-anak Atuka yang duduk malu-malu di teras, mereka berbagi cerita tentang program, tantangan, hingga adaptasi selama 55 hari mengabdi.
Kehidupan di Atuka penuh kesederhanaan. Jalanan kampung dibelah oleh genangan air laut yang naik setiap sore.
