ASPIRASIKU.ID Ada kebiasaan aneh yang sering terjadi dalam mengurus anak. Mereka yang suka sama anak-anak sering kali melakukan bully atau mengganggu si anak sampai nangis.
Alasannya absurd banget. Katanya karena gemes, karena lucu. Padahal perbuatan bully jelas nggak baik buat perkembangan mental si anak.
Sayangnya, tindakan seperti itu justru seringkali dilakukan sama orang-orang terdekat, yang masih dari lingkungan keluarga. Atau yang lebih parah, dilakukan oleh orangtuanya sendiri.
Nah, disini aku mau berbagi cerita. Pengalaman pribadi waktu aku masih balita sampai masuk TK. Kami tinggal di Pelabuhan Perikanan di Kota Sibolga.
Di sana pelabuhan ikan disebutnya Tangkahan. Ibuku buka usaha makanan, bapakku jadi satpamnya.
Saat itu setiap hari warung makan dipenuhi banyak pekerja untuk makan, ngopi, ngerokok atau sekadar nongkrong. Nah, di masa kecil ini aku mengalami bully hampir setiap hari.
Pelaku siapa? ya para pekerja yang lagi nongkrong itu. Setiap hari aku di-bully sampai nangis. Aku berusaha melawan, tapi gak bisa karena masih kecil.
Jadinya bentuk perlawanan terakhir ku adalah mengambil berbagai benda dari dapur untuk mencoba memukul para pelaku. Kadang balok kayu, kadang pisau atau parang.
Tapi mereka malah semakin kuat membullly. Mereka sambil lari-lari dan tertawa melihat ku yang mencoba melawan. Sementara aku makin sakit hati dan menangis karena tak bisa berbuat apa-apa.
Yang paling bodohnya apa? tindakan itu dibiarkan oleh semua keluarga ku. Baik itu ibu, kakak-kakak dan abang-abang ku. Sesekali mereka malah ikut menertawakan ku saat aku sudah mengamuk!
Itu kejadian belasan tahun lalu. Kemudian saat aku sudah dewasa, aku pernah ngobrol ngidul sama ibu ku. Sampai akhirnya topik pembicaraan kami tentang kejadian bully yang ku alami saat masih kecil.
Aku bertanya, kenapa ibu membiarkan aku diganggu sama orang-orang itu? Kenapa ibu malah ikut ketawa dan nggak melarang mereka?
Dengan agak heran, ibu ku menjawab, “Lho, ibu kira kamu malah senang main-main sama mereka. Ibu nggak tahu kalau kau benar-benar marah,” kira-kira begitulah dijawab ibu dengan bahasa Batak.
Intinya ibu ku sendiri nggak tahu sama sekali tentang perasaan ku saat itu. Jadi aku jelasin, bahwa saat itu sebenarnya aku sangat-sangat marah. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa dan.
Dampak buruknya adalah perkembangan mental. Waktu itu aku jadi tidak begitu dekat dengan semua anggota keluargaku. Di masa pertumbuhan itu, aku jadi anak yang suka menyendiri dan ‘bermain’ dengan alam pikiran ku saja.