pendidikan

Sumatera dan Jejak Bencana yang Tak Pernah Usai: Ahli UGM dan Eks Kepala BMKG Ungkap Akar Masalahnya

Senin, 8 Desember 2025 | 07:00 WIB
Pakar UGM Urai Penyebab Banjir Bandang Sumatera (dok. UGM.ac.id)

ASPIRASIKU - Gelombang air dan material dari hulu Sumatera yang meluncur pekan lalu kembali menyibak kenyataan lama: pulau ini menyimpan sejarah panjang kebencanaan yang bertumpuk dari faktor geologi, iklim, hingga kerusakan ekologis.

Arus deras yang menerjang pemukiman warga membawa kayu, lumpur, dan bongkahan tanah yang telah lama terakumulasi di lereng-lereng curam Bukit Barisan — tampak mendadak, tetapi sejatinya berakar pada proses panjang.

Dalam diskusi Pojok Bulaksumur, Kamis (4/12), dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, menguraikan bahwa struktur geomorfologi Sumatera memang membuat wilayah ini sangat rawan luapan besar saat hujan ekstrem.

Baca Juga: Prabowo Pantau Aceh, Menhan Sjafrie Turunkan 'Helikopter Dokter' untuk Cegah Wabah Pascabanjir

Lereng terjal dari Aceh hingga Lampung mengalirkan air langsung ke dataran rendah, sementara kipas vulkanik yang kini dipadati permukiman mempercepat aliran material ketika hujan deras turun.

“Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujarnya.

Kerusakan Hutan dan “Dosa Ekologis” di Hulu

Menurut Hatma, banjir bandang yang membawa potongan kayu dan sedimen tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang terus memburuk.

Baca Juga: PDIP Kaji Usulan Pilkada Dipilih DPRD, Hasto: Sistem Harus Bawa Manfaat bagi Rakyat

Pembukaan lahan, pemukiman yang naik ke dataran tinggi, serta perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan. Ketika hutan hilang, tanah kehilangan daya serap dan debit puncak air menjadi tak terkendali.

“Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” tegasnya.

Ia menjelaskan, dalam kondisi ideal, hutan mampu menahan hingga sepertiga volume air hujan di tajuk dan lebih dari separuh meresap ke tanah.

Dengan tutupan hutan yang terus berkurang, seluruh volume air bergerak serentak menuju sungai, mempercepat terjadinya banjir.

“Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” tambah Hatma.

Halaman:

Tags

Terkini