ASPIRASIKU — Pemerintah berencana menerapkan mata pelajaran pilihan Artificial Intelligence (AI) dan coding bagi siswa kelas 5 Sekolah Dasar (SD) mulai tahun ajaran 2025/2026.
Kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sebagai upaya mempersiapkan generasi muda yang kompetitif dan mampu bersaing di level global.
Namun, rencana tersebut menuai catatan kritis dari kalangan akademisi.
Peneliti transformasi digital dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Iradat Wirid, menilai pemerintah terlalu tergesa-gesa dan terkesan latah mengikuti tren AI global.
Baca Juga: Cara Bayar Shopee Pakai GoPay, Gampang Banget Tanpa Ribet!
“Pemerintah seharusnya tidak buru-buru. Penyampaian materi AI dan coding harus berjenjang. Jangan langsung ajarkan aplikasi AI ke anak SD, itu bisa jadi bencana,” tegas Iradat.
Ia mengingatkan bahwa pengenalan teknologi tanpa bekal literasi digital, logika, dan etika yang memadai justru berpotensi menimbulkan dampak negatif.
Iradat menyebut ada tiga fondasi penting yang harus menjadi acuan kurikulum AI di tingkat dasar dan menengah.
Pertama, etika. Menurutnya, AI tidak boleh hanya diajarkan sebagai alat canggih, melainkan juga harus dibarengi pemahaman tentang hak, dampak, dan batasan penggunaannya.
“Jangan hanya ajarkan cara pakai ChatGPT ke anak SD. Kita bisa melahirkan generasi instan,” ujarnya.
Kedua, literasi digital. Ia menilai pelajar perlu dibekali kemampuan memilah informasi, memahami aturan, dan mengetahui aspek etis serta legal dari penggunaan teknologi.
“Teknologi harus dikendalikan manusia, bukan sebaliknya. Literasi digital adalah kunci,” ungkap Iradat.
Ketiga, kemampuan berpikir kritis. Ia menegaskan bahwa pendidikan AI semestinya mendorong pelajar untuk aktif bertanya, menganalisis, dan memahami dampak teknologi, bukan sekadar menjadi pengguna pasif.