ASPIRASIKU - Polemik utang dan pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan publik.
Proyek yang digagas sebagai moda transportasi modern itu kini menghadapi cost overrun hingga 1,21 miliar dolar AS atau sekitar Rp19,96 triliun.
Akademisi sekaligus Dosen Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, menilai bahwa persoalan ini tidak lepas dari metode studi kelayakan yang digunakan China dalam perencanaan awal proyek.
Menurutnya, studi tersebut dilakukan dengan pendekatan yang tidak berbasis data lapangan.
Studi Kelayakan China Dinilai Tak Empirik
Sulfikar memaparkan bahwa China melakukan studi kelayakan hanya dalam 3 bulan dengan mengacu pada data studi Jepang yang dilakukan selama 4 tahun dalam rencana proyek serupa.
“Mereka (China) mengambil studi kelayakan Jepang, dipelajari lalu membikin proposal studi kelayakan terhadap studi kelayakan,” ujar Sulfikar dalam podcast Forum Keadilan TV, Kamis (13/11/2025).
Padahal, menurut dia, Jepang melakukan survei mendalam yang mencakup pengukuran dan observasi langsung di lapangan.
“Harusnya nggak (boleh), karena studinya tidak empirik. Lalu, mereka membuat proposal dengan jalur yang sangat aneh, berhentinya di Halim di Jakarta kemudian di Bandung di Tegalluar. Belakangan ditambah Padalarang,” lanjutnya.
Ia juga menilai bahwa China menawarkan biaya pembangunan yang tampak lebih murah dari Jepang—yakni 5,5 miliar dolar AS dibanding 6,2 miliar dolar AS—tanpa didukung kajian lapangan yang memadai.
Cost Overrun Disebabkan Studi Tanpa Survei Lapangan
Menurut Sulfikar, pembengkakan biaya yang terjadi saat ini merupakan konsekuensi langsung dari studi kelayakan yang tidak dilakukan secara empiris.