Jakarta, ASPIRASIKU — Pemerintah Indonesia resmi memberikan waktu transisi selama dua tahun kepada industri makanan dan minuman untuk menyesuaikan aturan baru mengenai label kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) pada produk olahan.
Kebijakan ini merupakan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, yang menekankan pengendalian penyakit tidak menular seperti obesitas dan diabetes.
Langkah ini diambil menyusul lonjakan kasus obesitas di Indonesia yang meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir hingga 2023, berdasarkan data Kementerian Kesehatan.
Baca Juga: Resmi! MK Putuskan Wakil Menteri Dilarang Rangkap Jabatan, Begini Respons Pemerintah
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, menyebut aturan ini akan dilaksanakan bertahap.
“Kami sudah menjelaskan kepada WTO bahwa langkah kami dimulai dari edukasi terlebih dahulu. Dua tahun ke depan baru pembatasan diberlakukan,” kata Nadia, Rabu (27/8/2025).
Nantinya, label pada kemasan akan menggunakan sistem warna menyerupai lampu lalu lintas: merah untuk kadar tinggi, kuning untuk sedang, dan hijau untuk rendah.
Mulai akhir 2025, perusahaan sudah bisa menggunakan stiker atau deklarasi mandiri, sebelum aturan wajib berlaku dua tahun kemudian.
Baca Juga: Gen Z Hadapi Tantangan Masuk Dunia Kerja, Onboarding Jadi Penentu
Meski begitu, kebijakan ini tidak lepas dari tekanan berbagai pihak.
Reuters melaporkan bahwa tenggat dua tahun tersebut muncul setelah adanya lobi dari Amerika Serikat, asosiasi industri pangan regional Food Industry Asia, serta sejumlah produsen dalam negeri.
AS bahkan sempat mempertanyakan kebijakan ini melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena khawatir berdampak pada ekspor ke Indonesia, yang nilainya mencapai Rp892 miliar per tahun.
Sejumlah pelaku usaha di dalam negeri juga menolak aturan ini dengan alasan informasi nutrisi sudah tercantum dalam kemasan.
Baca Juga: Mulai 2026, LPG 3 Kg Hanya Bisa Dibeli Pakai NIK, Puan Maharani: DPR Akan Kawal