ASPIRASIKU – Ketegangan perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, kembali memuncak dan menjadi sorotan utama pasar global.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sebelumnya mengumumkan penundaan pemberlakuan tarif balasan Jilid II terhadap 75 negara selama 90 hari, dengan pengecualian terhadap China.
Dalam pernyataan yang dikutip dari Reuters, Trump memberi sinyal bahwa kebijakan tarif terhadap China bisa bersifat permanen, menciptakan ketidakpastian di kalangan investor.
Trump juga mengklaim telah menekan sejumlah pemimpin negara lain untuk segera bernegosiasi.
"Kami memiliki banyak negara yang ingin membuat kesepakatan," ujarnya saat berbicara di Gedung Putih pada Selasa, 8 April 2025.
Ia pun mengutarakan harapannya agar China ikut mengambil langkah serupa untuk bernegosiasi.
Namun alih-alih merespons dengan jalan diplomasi, China justru melakukan langkah balasan.
Pada Jumat, 11 April 2025, China secara resmi mengumumkan kenaikan tarif atas impor dari AS hingga 125 persen, yang akan mulai diberlakukan pada Sabtu, 12 April 2025.
Langkah ini menyusul keputusan sebelumnya dari AS yang menaikkan tarif impor terhadap produk China hingga 145 persen.
"Pemberlakuan tarif yang sangat tinggi oleh AS terhadap China secara serius melanggar aturan perdagangan internasional dan ekonomi, hukum ekonomi dasar, dan akal sehat, serta merupakan intimidasi dan pemaksaan sepihak," demikian pernyataan resmi Kementerian Keuangan China, dikutip dari Reuters.
Baca Juga: 5 Soal Pengetahuan Kuantitatif UTBK-SNBT 2025 Beserta Kunci Jawaban dan Pembahasannya
Aksi saling balas tarif ini dinilai memperburuk ketegangan dalam perdagangan global dan meningkatkan risiko terhadap stabilitas ekonomi dunia.