ASPIRASIKU - Pada umumnya, vampir hanya hidup dalam kisah fiksi.
Namun, ekonom Amerika-Jerman, Dennis Snower, justru memanfaatkan sosok makhluk pengisap darah itu sebagai metafora unik untuk membahas kebijakan ekonomi makro.
Lewat karyanya berjudul Macroeconomic Policy and the Optimal Destruction of Vampires (1982), atau dalam bahasa Indonesia berarti Kebijakan Makroekonomi dan Penghancuran Vampir yang Optimal, Snower memperkenalkan istilah “vampir ekonomi”.
Baca Juga: Demetria Dahayu Kayla Didrika, Lulusan Tercepat UGM 2025 yang Tamat S1 Hanya 3 Tahun 8 Bulan
Tulisan tersebut ia buat sebagai respons terhadap penelitian Richard Hartl dan Alexander Mehlmann yang menggambarkan hubungan manusia dan vampir melalui model predator-mangsa dalam teori ekonomi.
Menurut Hartl dan Mehlmann, keseimbangan populasi dapat menjaga keberlangsungan keduanya. Jika vampir memangsa manusia terlalu banyak, maka mereka akan kehilangan sumber makanan dan musnah dengan sendirinya.
Namun, Snower menilai analogi tersebut belum cukup untuk menjawab tantangan nyata bagi masyarakat.
Ia kemudian mengajukan pertanyaan penting: apakah semua sumber daya harus difokuskan untuk memusnahkan vampir, atau sebaiknya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial?
Teorema Vampir: Antara Pemusnahan dan Netralitas
Dalam analisisnya, Snower melahirkan dua teori. Pertama, Teorema Kemustahilan Vampir, yang menekankan pentingnya menjaga tingkat minimum produksi “pasak kayu” agar masyarakat bisa bertahan hidup.
Tanpa itu, ancaman vampir bisa menghancurkan masyarakat.
Baca Juga: Mendag Soroti Potensi Waralaba Lokal, Dorong Jadi Jalan Lahirnya Wirausahawan Baru
Kedua, Teorema Netralitas Vampir, yang menyebut manusia justru lebih sejahtera jika vampir tetap ada dalam jumlah kecil.