ASPIRASIKU – Di tengah hiruk-pikuk Pasar Beringharjo, Yogyakarta yang tak pernah sepi, ada aroma sedap yang menguar dari sudut pasar dan menggoda setiap pejalan kaki yang melintas.
Itulah Warung Bu Sum, warung makan legendaris yang telah menjadi ikon kuliner khas Jogja selama lebih dari enam dekade.
Bukan sekadar tempat makan biasa, Warung Bu Sum adalah saksi perjalanan cita rasa, perjuangan keluarga, dan semangat bertahan dalam derasnya perubahan zaman.
Berdiri sejak lebih dari 60 tahun lalu, warung yang dulunya hanya berupa lapak kecil tanpa nama ini kini telah menjelma menjadi salah satu destinasi kuliner wajib bagi para wisatawan maupun pelanggan setia.
Baca Juga: Dari Jogja untuk Dunia, Cokelat nDalem dan Peran BRI dalam Memajukan UMKM
Di balik kesuksesannya, ada tangan dingin Udiyanti, generasi ketiga penerus usaha keluarga, yang menjaga resep warisan leluhur sekaligus membawa Warung Bu Sum tumbuh semakin besar.
“Semuanya dimulai dari tempat makan kecil yang bahkan tidak punya nama. Dulu hanya jualan ala kadarnya, tapi alhamdulillah sekarang bisa ramai terus dan omzetnya sudah sampai belasan juta rupiah,” cerita Udiyanti sambil tersenyum bangga.
Menu andalannya adalah Sate Kere, sebutan khas untuk sate dari sandung lamur atau daging sapi berlemak yang dibakar dengan bumbu rempah dan kecap.
Tapi bukan hanya itu, pengunjung juga bisa mencicipi gulai sapi, soto daging, hingga mangut lele dan nasi gudeg—semuanya dimasak dengan resep khas Jawa yang otentik.
Baca Juga: Kata-kata Halal Bihalal Bahasa Jawa untuk Teman Dekat, Keluarga, dan Teman Kantor
Yang membuat Warung Bu Sum istimewa bukan hanya rasa, tapi juga cara memasaknya yang masih tradisional.
Menggunakan anglo sebagai alat utama, aroma rempah yang gurih dan menggoda selalu menjadi sambutan hangat bagi para pelanggan yang makan langsung di warung.
Jam operasionalnya pun menyesuaikan ritme pasar—dari jam 6 pagi hingga 4 sore.
Lebaran pun tak jadi penghalang. Setelah dua hari tutup, warung langsung kembali ramai di hari ketiga.