Ini Kata Pengamat Soal Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta: Anak Ini Adalah Cermin dari Cermin yang Remuk

photo author
- Senin, 17 November 2025 | 11:00 WIB
Senjata api mainan mirip AR 15. Esktrimisme berbasis kekerasan usia dini, pelampiasan saki hati korban perundungan, pelaku siswa berusia 17 tahun ledakan bom masjid SMA Negeri 72 Jakarta (Dokumentasi Polri)
Senjata api mainan mirip AR 15. Esktrimisme berbasis kekerasan usia dini, pelampiasan saki hati korban perundungan, pelaku siswa berusia 17 tahun ledakan bom masjid SMA Negeri 72 Jakarta (Dokumentasi Polri)

ASPIRASIKU - Suasana khidmat ibadah Jum’at siang di masjid SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, mendadak berubah menjadi kekacauan setelah sebuah bom meledak di lokasi tersebut.

Beberapa siswa yang tengah melaksanakan salat terluka dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Tidak lama setelah peristiwa itu, pihak kepolisian menetapkan seorang siswa sekolah tersebut sebagai tersangka. Penetapan itu berdasarkan pemeriksaan saksi dan temuan bukti yang ada.

Kejadian ini mengejutkan dunia pendidikan dan memunculkan pertanyaan serius terkait kondisi sosial, psikologis, dan pendidikan sang pelaku, yang masih di bawah umur.

Baca Juga: Pengamat Keuangan Ingatkan Purbaya Belajar dari Sri Mulyani: Jaga Hubungan dengan Kelas Menengah

Beberapa sumber menyebut, pelaku diduga menjadi korban perundungan (bullying) dan tidak memiliki ruang aman untuk berlindung.

Tekanan sosial yang dialami tampaknya menimbulkan repressing psikis hingga muncul perasaan dikucilkan dan tidak dihargai dalam komunitasnya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, AB. Widyanta, S.Sos., M.A., memandang peristiwa ini dari dua perspektif: sosiologis dan psikososial.

Menurutnya, tekanan psikologis yang dialami seorang anak muncul dari akumulasi persoalan sosial yang terinternalisasi.

Baca Juga: Pencarian Korban Longsor Cibeunying Terus Berlanjut, Tim Gabungan Fokuskan Evakuasi dan Relokasi

Dampak bullying, kata Widyanta, menimbulkan rasa sakit hati, amarah mendalam, dan keinginan balas dendam yang bisa memicu agresivitas.

“Kasus ini murni reaksi personal terhadap kekerasan lingkungan, tanpa kaitan dengan kelompok radikal atau ideologi tertentu. Teknologi digital turut memfasilitasi aksi ekstrem ini,” ujarnya saat ditemui di Fisipol UGM, Jumat (14/11).

Widyanta menekankan, faktor-faktor seperti ketidakmampuan keluarga memenuhi kebutuhan afeksi, sekolah yang terjebak dalam kompetisi pasar, serta negara yang belum maksimal melindungi anak dari paparan digital berbahaya, saling terkait dalam kasus ini.

Anak tersebut, katanya, adalah korban dari ekosistem yang mereproduksi kekerasan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Yoga Pratama Aspirasiku

Sumber: ugm.ac.id

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X