Sebagian besar dana itu berasal dari karya tradisional maupun lagu populer yang tidak memiliki pencatatan resmi.
Ahmad mencontohkan lagu Cublek-Cublek Suweng yang terus menghasilkan royalti karena masih digunakan hingga kini.
Berdasarkan Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025, LMKN wajib mengumumkan daftar lagu tidak dikenal agar pencipta yang asli bisa melakukan klaim.
Dana tersebut hanya dapat disimpan dua tahun dan tidak boleh digunakan, kecuali maksimal delapan persen untuk pemberdayaan musik.
Banyak Pencipta Tak Terdaftar di LMK
Ahmad juga menyoroti persoalan lain: banyak musisi dan kreator independen yang karyanya beredar secara luas tetapi tidak bisa mengklaim royalti.
Pergeseran industri musik digital membuat kreator mandiri sulit diakui oleh digital service provider (DSP).
“Ribuan orang ini tidak bisa mengklaim lagunya karena praktik bisnis di lapangan. DSP hanya mengakui entitas besar seperti label yang sejak puluhan tahun menguasai jutaan database lagu,” ungkapnya.
Baca Juga: BRI Peduli Salurkan 200 Unit Ambulans, Wujud Nyata Dukung Pemerataan Akses Kesehatan
LMKN memperkirakan nilai royalti dari lagu-lagu yang tidak terdaftar dapat mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah per tahun.
Karena itu, Ahmad mendorong pembentukan lembaga khusus untuk menangani hak ekonomi kreator selain hak pertunjukan publik.
“Harus ada badan atau LMK tersendiri untuk mengurus hak ekonomi lainnya yang belum dicakup undang-undang,” tegasnya.***