ASPIRASIKU - Isu Chromebook mendadak kembali menjadi sorotan publik setelah mencuatnya kasus dugaan korupsi yang menyeret nama mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Proyek pengadaan laptop berbasis sistem operasi Chrome OS itu kini menjadi perdebatan panas: apakah benar sebagai solusi cerdas digitalisasi pendidikan, atau justru menjadi ladang subur praktik penyimpangan anggaran?
Chromebook sendiri adalah jenis laptop yang menggunakan sistem operasi buatan Google, yakni Chrome OS.
Dibandingkan dengan Windows atau macOS, Chromebook dirancang lebih ringan dan berbasis cloud, sehingga cocok untuk kebutuhan pendidikan dasar yang tidak memerlukan aplikasi berat.
Baca Juga: Sering Masuk Angin? Ternyata Bukan Penyakit, tapi Fenomena Budaya, Ini Penjelasan Pakar UGM
Dalam konteks pengadaan pemerintah, laptop ini dinilai lebih ekonomis, efisien, dan aman digunakan oleh pelajar karena sistemnya terbatas pada aplikasi yang dikendalikan pihak sekolah.
Namun, proyek ambisius senilai Rp9,9 triliun ini kini justru menjadi bumerang. Proyek yang dimulai sejak 2021 itu mencakup distribusi sekitar 1,1 juta unit laptop, modem, dan proyektor ke lebih dari 77.000 sekolah di seluruh Indonesia.
Dana sebesar itu dialokasikan dari APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan target mendukung proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) serta mitigasi learning loss pasca pandemi.
Sayangnya, sejak awal, pengadaan Chromebook ini sudah menuai kritik.
Baca Juga: 5 Aplikasi Kripto yang Memiliki Fitur DCA
Salah satunya datang dari Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) yang pada 2019 pernah melakukan uji coba dan menyimpulkan bahwa Chromebook belum cocok diterapkan secara nasional karena belum meratanya infrastruktur internet di berbagai daerah, khususnya wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Kritik juga datang dari kalangan masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menilai bahwa spesifikasi Chromebook tidak sesuai dengan kebutuhan teknis di banyak sekolah.
Selain itu, muncul pula dugaan bahwa vendor lokal yang dilibatkan—seperti Advan, Zyrex, SPC, Axioo, dan Evercoss—telah melakukan pengaturan harga dan pengkondisian sistem operasi untuk memastikan produk mereka lolos seleksi.