Kisah ini bukan sekadar cerita tentang hilangnya kepemilikan tanah.
Ini tentang kepercayaan yang dikhianati, tentang ketimpangan informasi dan akses hukum yang kerap menimpa masyarakat kecil.
Dalam kasus Mbah Tupon, aparat pemerintah, mulai dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga pemerintah daerah, kini tengah bergerak cepat.
BPN Bantul telah melakukan investigasi mendalam dan menjalin koordinasi dengan Kelurahan Bangunjiwo serta Pemerintah Kabupaten Bantul untuk menggali informasi tambahan.
“Senin kemarin, kami sudah mencari informasi ke kelurahan dan mendapatkan data pendukung,” kata Tri.
Namun upaya mencari kebenaran tak semudah membalik telapak tangan.
Ketika tim BPN mencoba menemui PPAT yang menerbitkan akta jual beli tersebut, kantor PPAT itu ternyata tutup dan tidak bisa memberikan keterangan.
“Fakta di lapangan kantor itu tutup, tidak ada orangnya,” ungkap Tri.
Baca Juga: Ternyata KIP Kuliah 2025 Bisa Digunakan Pada Jalur Mandiri, Begini Cara Daftarnya
Kini, kasus ini bukan hanya tentang Mbah Tupon.
Ia telah menjadi simbol keresahan banyak orang—bahwa tanah bisa berpindah tangan tanpa suara dari pemilik sah, dan bahwa sistem hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kelicikan oknum.
Sambil menanti keadilan, Mbah Tupon tetap setia di rumahnya. Di tanah yang dulu ia percaya sebagai miliknya, ia kini hanya bisa berharap: semoga yang benar tak lagi dikalahkan oleh yang lihai.***