Iqbal Sandira menanggapi ini dengan sangat jernih:
“Pernyataan Musk membuka kenyataan pasar: ada demand besar untuk efisiensi dalam gaming. Orang bukan sekadar ingin main, tapi menikmati. Kalau kerja keras 40 jam seminggu sudah menyita energi, wajar kalau mereka ingin langsung ke bagian yang menyenangkan dalam game.”
Realitas Modern: Skill, Uang, dan Waktu Tidak Lagi Saling Terkait
Dulu, game dipandang sebagai arena kesetaraan. Semua mulai dari nol, dan hanya skill yang jadi pembeda.
Tapi di era digital saat ini, kesetaraan semacam itu menjadi ilusi. Ada yang punya banyak waktu, tapi minim sumber daya. Ada pula yang punya uang, tapi waktu sangat terbatas. Maka hadirlah “jembatan”: jasa boosting.
Di Zeusx.com Gaming Marketplace, boosting hanya salah satu dari puluhan layanan yang tersedia.
Tapi uniknya, permintaan terhadap boosting terus meningkat dari tahun ke tahun—khususnya dari kalangan profesional, konten kreator, dan kolektor akun.
Iqbal menegaskan:
“Kami menyaring semua penjual jasa boosting. Harus aman, tidak melanggar TOS game, dan ada transparansi. Bukan sekadar menang cepat, tapi layanan ini membantu gamer mengakses bagian game yang seharusnya hanya bisa dicapai dengan waktu sangat panjang.”
Baca Juga: Merintis Usaha: Ini 5 Tantangan yang Harus Dihadapi Pengusaha Pemula
Analisis Etika: Apakah Boosting Merusak Kompetisi?
Kritik terbesar terhadap boosting adalah potensi kerusakan dalam sistem kompetitif.
Jika seorang pemain naik peringkat lewat jasa orang lain, ia akan bermain di tier yang tidak sesuai kemampuannya. Ini jelas bisa merusak pengalaman gamer lain.
Namun menurut Iqbal, kesalahan besar terjadi ketika semua boosting digeneralisasi.