ASPIRASIKU - Di tengah gemerlapnya peradaban Islam abad ke-9, muncul sosok pemikir yang menorehkan sejarah penting dalam dunia keilmuan: Abu Yusuf Ya'qub bin Ishaq Al-Kindi.
Lahir dari keluarga bangsawan Arab suku Kindah, Al-Kindi tumbuh sebagai pemuda cerdas yang tak hanya mencintai ilmu, tetapi juga berani melangkah melampaui batas-batas pemikiran zamannya.
Al-Kindi dikenang sebagai filsuf Muslim pertama yang berhasil menjembatani pemikiran Yunani dan Islam.
Baca Juga: Istana Tanggapi Kritik Ekonom soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen: Pemerintah Jujur Sampaikan Data
Di saat sebagian kalangan mencurigai filsafat asing sebagai ancaman, ia justru mempelajari dan menerjemahkan karya-karya tokoh besar seperti Aristoteles dan Plotinos ke dalam bahasa Arab.
Lebih dari sekadar menerjemahkan, ia juga menyesuaikan gagasan-gagasan itu dengan nilai-nilai Islam, menjadikannya relevan bagi umat Muslim kala itu.
Salah satu bidang yang menarik perhatian Al-Kindi adalah psikologi atau ilmu jiwa. Ia membagi kekuatan jiwa manusia menjadi tiga: nafsu, amarah, dan akal.
Baca Juga: Kompor Induksi Kian Diminati, Ini Perbandingan Produk Premium dan Ekonomis di Pasaran
Baginya, akal adalah pengendali utama yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Tanpa kendali akal, manusia rentan dikendalikan oleh nafsu dan amarah, hingga kehilangan sisi kemanusiaannya.
Salah satu kutipan terkenalnya, “Setiap keberhasilan adalah hasil dari kerja keras dan ketekunan,” menjadi cerminan dari pandangan hidupnya.
Bagi Al-Kindi, kejayaan bukanlah soal warisan atau nasib baik, melainkan buah dari usaha sungguh-sungguh dan keikhlasan hati dalam menjalaninya.
Pandangan tersebut menunjukkan sisi humanis dari seorang pemikir besar yang tetap menjunjung nilai-nilai sederhana.