“Kita butuh perspektif lain untuk menyempurnakan tulisan. Bisa minta bantuan teman, senior, atau awardee yang pernah lolos,” katanya.
Baca Juga: Seruan Pertama Paus Leo XIV Usai Resmi Dilantik: Jangan Pernah Ada Perang Lagi!
2. CV: Jangan Malu untuk ‘Flexing’
Kalau di esai harus hemat kata, maka di CV sebaliknya: lengkap dan mendetail.
Pengalaman kerja, penelitian, organisasi, hingga penghargaan sebaiknya dituliskan dengan jujur dan sistematis.
“Untuk CV beasiswa, kita boleh ‘flexing in a good way’. Jangan ragu menuliskan semua capaian yang relevan,” ujar Shintia.
Ia juga mengingatkan pentingnya memperbarui profil LinkedIn. Berdasarkan pengalamannya, pihak beasiswa AAS bahkan melakukan pengecekan silang antara CV dan akun LinkedIn pelamar.
Baca Juga: Seruan Pertama Paus Leo XIV Usai Resmi Dilantik: Jangan Pernah Ada Perang Lagi!
“LinkedIn bisa menjadi alat verifikasi. Jadi pastikan informasi di sana sesuai dengan yang ditulis di CV,” tambahnya.
3. Wawancara: Jadilah Diri Sendiri yang Inklusif
Tahapan wawancara menjadi penentu akhir yang krusial. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan biasanya berasal dari esai dan CV, sehingga konsistensi jawaban menjadi hal mutlak.
“Kalau jawabannya tidak sesuai dengan yang ditulis, pewawancara pasti tahu. Jadi semua yang ditulis harus bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Lebih dari itu, wawancara untuk beasiswa luar negeri juga menilai kemampuan pelamar dalam beradaptasi dengan keberagaman budaya. Maka, sikap terbuka dan inklusif menjadi nilai tambah.
“Kita harus menunjukkan bahwa kita bisa hidup di tengah perbedaan. Sikap adaptif dan inklusif akan sangat dinilai,” katanya.