Jika pada proyek jalan tol pembebasan lahan ditanggung negara, maka dalam proyek Whoosh biaya itu justru dibebankan ke perusahaan pelaksana, dengan nilai mencapai Rp15 triliun.
“Kalau jalan tol, tanahnya dibayar negara. Kalau kereta cepat, perusahaan yang bayar. Harusnya ini bisa diatur ulang,” sebut Harun.
Ia menambahkan, subsidi transportasi publik bukan hal baru. Pemerintah bahkan mengeluarkan lebih dari Rp10 triliun per tahun untuk subsidi MRT, BRT, dan LRT yang melayani jutaan penumpang harian.
Baca Juga: Cemburu Buta, Pria di Bantul Aniaya Driver Ojol dengan Celurit
Namun, Whoosh dinilai berbeda karena menyasar kalangan menengah ke atas, sehingga menimbulkan dilema antara kebanggaan nasional dan efisiensi fiskal.
Pertanggungjawaban dan Transparansi
Akbar Faizal menegaskan, kini publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas keputusan masa lalu yang menimbulkan beban besar bagi negara.
“Tidak adil bagi anak-anak bangsa ini, cucu-cucu kita, menanggung beban sebesar ini hanya karena dulu tidak ada yang berani bersuara,” ujarnya.
Kini, polemik Whoosh bukan sekadar soal utang dan bunga pinjaman, melainkan soal transparansi kebijakan dan keberanian politik dalam mengambil keputusan strategis.
Proyek yang dulu dijanjikan membawa kebanggaan bangsa kini menjadi cermin kompleksitas pembangunan nasional — antara ambisi, utang, dan tanggung jawab lintas generasi.***