ASPIRASIKU - Fenomena pemblokiran massal rekening bank tengah menjadi sorotan publik, terutama di media sosial.
Banyak warganet mengeluhkan aktivitas perbankan yang tiba-tiba terhenti, bahkan sulit mengajukan banding karena bertepatan dengan hari libur.
Namun di balik keresahan tersebut, tersingkap ancaman serius: kebocoran data pribadi yang dimanfaatkan dalam praktik jual beli rekening untuk kepentingan ilegal, terutama judi online.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, menegaskan bahwa langkah pemblokiran bukan keputusan mendadak, melainkan bagian dari upaya melindungi sistem keuangan nasional.
“Pada tahun 2024 terdapat lebih dari 28.000 rekening yang berasal dari jual beli rekening yang digunakan untuk deposit perjudian online,” ungkap Ivan dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (18/5/2025).
PPATK menemukan bahwa sebagian besar rekening yang diblokir adalah rekening dormant alias tidak aktif, yang diam-diam dikendalikan oleh pihak lain tanpa sepengetahuan pemilik asli.
Rekening-rekening ini disalahgunakan untuk berbagai tindak kejahatan, termasuk penipuan, peredaran narkoba, dan judi daring.
Modus yang marak terjadi berawal dari bocornya data pribadi yang kemudian digunakan untuk membuka rekening palsu atau mengambil alih rekening yang sudah ada.
Baca Juga: UGM Buka Pendaftaran Seleksi Mandiri 2025, Ini Jalur dan Kuotanya
Rekening tersebut lalu diperjualbelikan di pasar gelap dan dipakai sebagai "rekening penampung" oleh sindikat kejahatan digital.
Ivan menegaskan bahwa langkah penghentian transaksi ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di sektor keuangan.
Meski diblokir, PPATK menekankan bahwa pemilik rekening masih memiliki hak penuh atas dananya.
Proses reaktivasi bisa dilakukan dengan mendatangi cabang bank terdekat dan mengikuti prosedur yang berlaku.