ASPIRASIKU – Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger ala One Piece yang belakangan ramai di media sosial menjadi sorotan serius Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada.
Tak sekadar tren di kalangan penggemar anime, isu ini memicu perbincangan publik hingga menarik perhatian pemerhati media dan kebijakan publik.
Ayom Mratita Purbandani dari CfDS mengungkapkan, timnya mencatat lonjakan percakapan yang signifikan di berbagai platform digital.
“Sejauh ini, kami mencatat setidaknya ada 2,6 juta impresi terkait isu pengibaran bendera One Piece,” ujarnya, Rabu (13/8).
Baca Juga: Dihantam Tarif Tinggi AS, Perusahaan China Serbu Indonesia untuk Ekspansi
Menurut Ayom, perhatian publik bukan hanya soal estetika visual, tetapi juga polarisasi makna.
Media arus utama cenderung membingkainya dengan sentimen negatif atau netral, menyoroti isu makar dan anti-nasionalisme.
Sementara di media sosial, banyak warganet melihatnya sebagai bentuk kreativitas dalam menyampaikan pesan protes.
“Penggunaan idiom budaya populer seperti ini jamak untuk mengartikulasikan protes,” jelas Ayom, yang menilai fenomena ini sejajar dengan simbol global lain seperti semangka untuk Palestina atau salam tiga jari di Thailand.
Baca Juga: PFN Siapkan Film Animasi Pelangi di Mars dengan Teknologi XR, Target Rilis 2026
Simbol-simbol ini, kata dia, mudah diadopsi karena familiar dan memiliki resonansi emosional yang kuat.
Menariknya, upaya pelarangan justru memicu efek Streisand—yakni meningkatnya perhatian publik akibat pembatasan.
“Ketika pelarangan terjadi, pesan simbolik justru menjadi semakin tepat sasaran,” ungkap Ayom.
Ia menambahkan, media populer memiliki kekuatan ideologis karena mampu menyampaikan kritik secara halus dan non-konfrontatif.