Perjuangan Tirto di dunia junalistik, khususnya semenjak tahun 1902, membuka jalan dalam babak awal sejarah pers Indonesia.
Pers sebagai pembentuk opini public, pers sebagai alat memperjuangkan hak dan keadilan (jurnalisme advokasi), serta pers sebagai media perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Hal-hal semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam ranah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah.
Tirto Adhi Soerjo-lah yang pertama-tama memulainya, dialah sang Bapak Pers Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo merupakan tokoh pertama yang mengembangkan jurnalisme di Indonesia.
Namun, sayang, perjuangan Tirto Adhi Soerjo seakan terkubur.
Saat Tirto wafat, tidak ada lautan orang yang mengantarkan jenazahnya ke pekuburan di Manggadua.
Hanya segelintir orang yang mengantarkan Tirto ke peristirahatan terakhir.
Kisah perjuangan Tirto Adhi Soerjo diabadikan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer selepas keluar dari pembuangan pulau Buru awal tahun 1980-an.
Dan ditulis dengan nama Minke dalam Buku Tetralogi Buru, empat buku tebal yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Selain Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer pun menulis kekagumannya atas Tirto Adhi Soerjo dalam Buku Sang Pemula.
Entah alasan pemerintah saat itu apa sehingga karya Tetralogi Pulau Buru itu dilarang terbit dan beredar.