ASPIRASIKU – Tragedi Kanjuruhan menjadi sejarah paling kelam sepakbola Indonesia karena telah menelan ratusan korban jiwa.
Banyaknya korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan ini diduga karena aparat kepolisian yang bertugas mengamankan massa menembakkan gas air mata ke tribun penonton.
Akibatnya, penonton berusaha melarikan diri, namun gerbang masih ditutup sehingga banyak yang kehabisan nafas dan terinjak-injak.
Penggunaan gas air mata saat Tragedi Kanjuruhan ini juga diduga telah melanggar aturan pengamanan dalam standar federasi sepak bola dunia atau FIFA.
Namun Dosen Universitas Indonesia (UI), Ade Armando justru menilai penggunaan gas air mata oleh polisi adalah tindakan sesuai protap ketika aparat harus mengendalikan kerusuhan yang mengancam jiwa.
Menurutnya, Tragedi Kanjuruhan setelah laga Arema FC vs Persebaya ini justru disebabkan oleh tindakan suporter Arema FC yang melanggar aturan dan masuk ke dalam lapangan.
Ade Armando menyebut, masuknya suporter Arema menjadi pangkal terjadinya kericuhan.
“Supporter Arema yang sok jagoan masuk ke lapangan dengan gaya preman, petentengan. Dalam pandangan saya polisi sudah menjalankan kewajibannya," kata Ade dalam Youtube Cokro TV.
Menurutnya, polisi sudah meminta jadwal pertandingan dimajukan pada pukul 15.30 WIB sore hari, hingga pembatasan jumlah penonton sesuai kapasitas stadion.
Namun pihak panitia pertandingan (panpel) justru mengabaikan permintaan itu, dan menjual tiket melebihi kapasitas stadion serta tetap mengadakan laga pada malam hari pukul 20.00 WIB.
“Yang jadi masalah adalah kelakuan suporter Arema, memang tidak semua yang melakukan kerusuhan, menurut polisi yang menyerbu lapangan hanyalah tiga ribu orang, tapi itu sudah cukup memporak-porandakan keadaan," jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa supporter Arema FC yang masuk lapangan tidak bisa menyaksikan timnya kalah, padahal pertandingan melawan Persebaya berlangsung fair.