ASPIRASIKU – Istilah “ketua MK bohong” sedang trending menyusul putusan MK soal batas usia capres dan cawapres.
Putusan MK tersebut telah meloloskan capres dan cawapres di bawah usia 40 tahun asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.
Hasil pencarian yang sedang breakout menunjukkan banyak netizen yang menganggap bahwa ketua MK bohong jika hasil putusannya tidak memiliki konflik kepentingan.
Baca Juga: Mengenal Bunga Marigold, Dari Sejarah, Manfaat, Hingga Cara Menanamnya Biar Tumbuh Subur
Sementara itu pada Selasa (31/10) Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar sidang perdana terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang melibatkan Ketua MK, Anwar Usman.
Empat Pelapor yang menghadiri Sidang pendahuluan ini, yaitu Denny Indrayana, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, LBH Yusuf, dan perwakilan 15 guru besar/akademisi dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
Para akademisi dari CALS melaporkan Anwar Usman dengan alasan dugaan keterlibatan konflik kepentingan. Mereka menilai bahwa putusan MK sebelumnya tidak sesuai dengan undang-undang.
Kuasa Hukum CALS, Violla Reininda, menyatakan bahwa jika terdapat dugaan pelanggaran yang serius, terutama terkait dengan conflict of interest, sanksi yang setimpal, bahkan pemberhentian secara tidak hormat, harus diberlakukan.
Baca Juga: Putusan Mahkamah Kehormatan MK Jadi Kunci Kembalikan Wibawa Mahkamah Konstitusi di Hadapan Publik
Violla menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi saat Anwar Usman memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut mengubah syarat usia calon presiden-cawapres, yang akhirnya memberi kesempatan pada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju di Pilpres 2024.
Sementara diketahui bahwa Gibran adalah keponakan dari Anwar, sehingga potensi adanya konflik kepentingan mencuat.
Putusan ketua MK ini merupakan buntut dari JR UU No.7/2017 soal pemilu terkait batas usia capres dan cawapres yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman SH., LLM menyorot polemik ini dengan menyebut bahwa putusan ini sensitif dan beraroma politis.