“Dalam proses belajar dan mengajarkan bahasa isyarat tidak boleh sembarangan orang. Idealnya belajar dari yang sudah terverifikasi. Tidak adil jika membuat kebijakan tanpa melibatkan mereka,” tuturnya.
Menuju Pendidikan Inklusif
Lebih jauh, Mutia menyampaikan bahwa agar wacana bahasa isyarat dalam kurikulum dapat terimplementasi dengan baik, seluruh aspek pendidikan perlu disiapkan secara menyeluruh.
Mulai dari kesiapan tenaga pendidik, kurikulum yang adaptif, hingga penerimaan peserta didik tuli di sekolah umum.
Baca Juga: LOWONGAN KERJA PT Pamapersada Nusantara Dibuka Hingga 17 Oktober 2025, Inilah Persyaratannya
“Pendidikan inklusif artinya bukan lagi hanya di SLB atau lembaga khusus. Teman-teman tuli juga harus bisa belajar di lingkungan pendidikan yang terbuka dan setara,” terangnya.
Kendati belum terealisasi, Mutia optimistis kebijakan ini suatu saat akan terwujud.
Ia menilai, masuknya bahasa isyarat dalam kurikulum akan menjadi langkah awal menuju pendidikan yang inklusif dan berkeadilan bagi semua.
“Harapannya, jika kedua belah pihak saling memahami, kondisi inklusif bisa tercapai. Di sisi lain, masyarakat umum pun dapat menumbuhkan rasa empati yang lebih tinggi terhadap keberagaman,” pungkasnya.***