Surabaya, ASPIRASIKU – Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap sepak bola seringkali melebihi batas kewajaran.
Dijuluki sebagai second religion, sepak bola tak jarang memicu semangat berlebihan hingga menjelma menjadi hyper nationalism—nasionalisme yang ekstrem dan destruktif.
Dampaknya tidak hanya terjadi di stadion, tapi juga menyebar ke dunia digital melalui praktik perundungan siber (cyberbullying).
Fenomena ini menjadi fokus riset terbaru yang dipimpin oleh Rizky Sugianto Putri, S.Ant., M.Si., dosen Antropologi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR).
Baca Juga: BRI Perkuat Ekosistem UMKM Lewat Program Klasterku Hidupku, Sudah Berdayakan 41 Ribu Klaster Usaha
Dalam penelitiannya, Kiki—sapaan akrabnya—mengkaji bagaimana nasionalisme yang berlebihan memengaruhi perilaku suporter baik di ruang fisik maupun digital.
“Indonesia termasuk dalam 20 besar negara dengan basis penggemar sepak bola terbesar di dunia, bahkan nomor dua di Asia. Tapi semangat yang besar ini, kalau tidak dikelola dengan baik, bisa berubah menjadi sesuatu yang destruktif,” ujar Kiki.
Dari Cyberbullying hingga Tragedi Kanjuruhan
Kiki mencontohkan bahwa salah satu manifestasi hyper nationalism yang paling sering muncul adalah cyberbullying.
Baca Juga: Anies Baswedan Kritik Ketidakhadiran Prabowo di Forum PBB? Indonesia Harus Tunjukkan Komitmen Global
Saat tim nasional atau klub kesayangan mengalami kekalahan, media sosial kerap dibanjiri komentar negatif dan serangan verbal kepada pemain, wasit, bahkan pendukung lawan.
Dampak ini tak hanya berhenti di dunia maya. Dalam kehidupan nyata, euforia berlebihan bisa berubah menjadi konvoi yang mengganggu ketertiban umum hingga kekerasan fisik.
Salah satu tragedi paling memilukan yang tercatat dalam sejarah sepak bola Indonesia adalah insiden Kanjuruhan di Malang, yang menewaskan lebih dari 130 orang.
“Tragedi itu tak hanya menyisakan luka bagi suporter, tapi juga warga sekitar stadion, pedagang, dan keluarga korban. Ini bentuk nyata ketika nasionalisme dalam olahraga tidak disalurkan dengan benar,” tegasnya.