Jakarta, ASPIRASIKU – Isu kriminalisasi dalam penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru kembali mencuat menjelang pemberlakuannya pada awal 2026.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil menyampaikan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum, terutama akibat buramnya mekanisme pengawasan dan penerapan hukum materiil di lapangan.
Menanggapi polemik tersebut, pemerintah berupaya meredam kecemasan publik dengan menegaskan bahwa sistem hukum yang baru telah dirancang untuk meminimalkan potensi kesewenang-wenangan.
Wakil Menteri Hukum (Wamenhum), Eddy OS Hiariej, menyatakan bahwa kerangka hukum terbaru disusun dengan memperjelas tafsir dan mencegah tindakan represif yang tidak berdasar.
Baca Juga: Praktisi Hukum Desak Penyelidikan Menyeluruh atas Kematian Dirut Bank BJB Yusuf Saadudin
“Saya kira begini, kalau kita lihat di dalam KUHP itu kan yang berbicara mengenai hukum materiil itu kan disertai dengan penjelasan,” ujar Eddy di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 24 November 2025.
Anotasi Jadi Penuntun Tafsir
Eddy menjelaskan bahwa penyusun KUHP baru mencantumkan anotasi atau catatan penting dalam sejumlah pasal untuk memastikan aparat memahami maksud pembentuk Undang-Undang.
Menurutnya, langkah tersebut menjadi kunci agar penerapan hukum tidak diselewengkan.
“Jadi sama sekali untuk mencegah jangan sampai ada terjadi kriminalisasi dan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Baca Juga: Seleksi Petugas Haji 2026 Dibuka Hingga 28 November 2025, CEK Formasi Layanan, Syarat, dan Timeline
Ia menambahkan bahwa struktur penjelasan dan anotasi disusun sebagai rambu agar aparat tetap berada dalam koridor hukum yang telah ditetapkan.
Respons atas Kekhawatiran Masyarakat Sipil
Menyoal kritik masyarakat sipil terkait ketidakjelasan aturan pelaksanaan KUHP baru, Eddy memastikan bahwa seluruh aturan turunan telah rampung, termasuk tiga Peraturan Pemerintah (PP) sebagai fondasi teknis.