ASPIRASIKU — Runtuhnya bangunan musala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025 lalu bukan hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga membuka fakta mengejutkan tentang lemahnya pengawasan infrastruktur di lembaga pendidikan keagamaan Indonesia.
Musala empat lantai yang sebagian masih dalam tahap pembangunan itu ambruk ketika para santri sedang melaksanakan salat Ashar.
Badan SAR Nasional (Basarnas) mencatat, musala tersebut mampu menampung sekitar 140 jemaah.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Pangkas DBH DKI Rp15 Triliun, Pramono Anung Pilih Legawa dan Siapkan Efisiensi
Setelah sembilan hari proses evakuasi, operasi resmi ditutup pada Selasa, 7 Oktober 2025, dengan total korban mencapai 171 orang — terdiri atas 104 orang selamat dan 67 meninggal dunia, termasuk delapan potongan tubuh (body part).
Sorotan publik pun mengarah pada lemahnya aspek legal dan teknis pembangunan pesantren.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan akan melakukan pendataan ulang seluruh pondok pesantren di Indonesia.
“Kami akan segera mendata dan mengidentifikasi pondok pesantren, terutama yang sudah berusia lebih dari 100 tahun,” ujar Nasaruddin di Jakarta Selatan, Selasa (7/10).
Baca Juga: Mahfud MD Puji Menkeu Purbaya: Tidak Bebani Rakyat, Sikat Korupsi dan Pajak Ilegal
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengingatkan pentingnya kepatuhan terhadap standar konstruksi.
“Kita harus mematuhi SOP dan standar pembangunan fisik agar tidak lagi ada korban jiwa,” tegas AHY.
Lebih jauh, Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo mengungkap fakta mencengangkan: dari 42 ribu pesantren di Indonesia, hanya 50 yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
“Harusnya semua pesantren memiliki izin mendirikan bangunan. Ini jadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama,” kata Dody saat meninjau lokasi tragedi pada Minggu (5/10).